Senin, 26 Desember 2016

kritik sastra Arab klasik

KRITIK SASTRA ARAB KLASIK

SEJARAH
Dalam sejarah kritik sastra Arab, kritik sastra telah muncul sejak masa Jahiliyah (pra-Islam), khususnya dalam moment Pasar Raya Ukaz yang tidak saja berfungsi sebagai pasar material, tetapi juga sastra dan budaya yang melahirkan karya sastra al-mu’allaqat (karya sastra monumental yang digantung di dinding Ka’bah).
Pada masa awal Islam, Nabi sendiri bahkan pernah melakukan kritik terhadap syair-syair haja’ (ejekan) yang diungkapkan Hasan bin Tsabit, Ka’ab bin Malik, dan Abdullah bin Rawahah, ketika mereka melawan syair haja’ kaum Quraisy. Sabdanya, syair dua penyair yang disebut terakhir cukup baik dan yang paling baik adalah syair Hassan, karena penguasaannya terhadap peristiwa-peristiwa sejarah Arab, pada masa selanjutnya, Umar, pernah memuji Zuhair Abi Sulma sebagai penyair terbaik karena syair-syairnya yang tidak ada pengulangan kata, tidak menggunakan kata asing, dan syair pujiannya yang berdasarkan kenyataan orang yang di puji.
Pada Abad ke-2 H (sekitar abad ke-8 M), periode ini merupakan periode tadwin (koodifikasi) terhadap syair-syair sebelumnya yang berserakan dalam hafalan orang-orang Arab. Buku kodikasi syair al-Usmu’i dinilai para ahli yang paling memiliki akurasi sastra Arab Jahiliyah karena ketelitiannya. Periode ini agaknya berbeda dengan periode sebelumnya, karena periode ini merupakan periode dimulainya tradisi tulis dalam kritik sastra Arab. Pada abad berikutnya (ke-3 H), kritik sastra mengalami perkembangan ketika muncul kritikus seperti Ibnu Qutaibah, kritik sastra pada masa ini mengandalkan ukuran kritik ketepatan kaidah, orisinalitas (plagiat atau bukan), gaya bahasa yang solid (baik), ukuran maknanya yang baik, dan menggunakan metode perbandingan.  Bahkan, kata naqd atau kritik sendiri pertama kali digunakan untuk sastra pada abad ini. Sebab itu, abad ini membawa abad berikutnya (abad ke-4 H) mengalami masa matang. Pada periode ini, definisi dan unsur-unsur syair dan orasi menjadi lebih jelas, munculnya kajian terhadap struktur puisi dan estetika sastra, menguatnya ukuran orsinalitas dalam kritik, dan lahirnya metode badi’. Bahkan metode perbandingan yang telah muncul sejak abad ke-2 H menjadi sangat detail seperti perbandingan antara Abu Tamam dan al-Buhturi. Diantara kritikus masa ini adalah Hasan bin Basyar al-Amidi dan Qudamah bin Ja’far.
Periode berikutnya (abad ke-5) adalah periode emas dimana kritik sastra Arab banyak memusatkan perhatiannya pada kemukjizatan puitika Al-Qur’an dan aspek estetika bayan. Diantara kritikus yang lahir pada masa ini adalah Ibnu Rasiq al-Qairawani dan ‘Abdullah al-Qahir al-Jurjani yang menguasai teori sastra Plato dan Aristoteles.
Sejak abad ke-6 H hingga masa modern (masa persentuhandunia Arab dengan kolonialisme Barat yang terjadi pada abad ke-13 H atau abad ke-19 M), kritik sastra mengalami kemandekan. Meskipun demikian, pada periode yang panjang ini sejarah kritik sastra Arab mengenal beberapa tokoh kritikus sastra.
Yang harus menjadi catatan untuk sejarah kritik sastra Arab klasik dan pertengahan ini adalah bahwa sepanjang sejarah kritik sastra pada dua kategorisasi masa besar ini, perhatian terhadap syair mendapatkan porsi jauh lebih besar ketimbang porsi prosa, karena kultur kritik sastra Arab pra-modern adalah kultur syair bukan prosa.

METODE
Pada masa klasik terdapat banyak metode kritik sastra Arab, diantaranya:
Pertama, metode kritik linguistik, yang di bawah oleh Abdul al-Qahir al-Jurjani yang tidak saja mementingkan interaksi dengan kata, tetapi juga struktur kalimat. Menurut para ahli unsur-unsur linguistik yang ada dalam sastra merupakan media pertama yang membawa seorang kritikus mampu menganalisis sastra dengan baik. Namun, bukan berarti metode ini tidak mementingkan makna atau hubungan instrinsik makna, karena bagi mereka bahasa bagaikan tradisi lainnya yang berkembang dan didirikan diatas kesepakatan yang bersifat sinkronis, yang bila terjadi perubahan dalam tradisi, perubahan makna pun terjadi.
Kedua, metode klasik yang mementingkan pengkajian terhadap bagian-bagian kata dan makna, Wazan atau Bahr (prosodi gaya lama) dalam syair, dan penguasaan khazanah sastra Arab.
Ketiga, metode estetik, metode ini lebih mementingkan bentuk sastra, karena kekuatan dan tujuan penciptaan syair adalah keindahan bentuknya. Tidak ada hubungan bagi kalangan ini, antara syair dengan kebenaran dan kebaikan spiritual. Sisi yang dipertimbangkan dalam penciptaan syair adalah rasa, karena yang digugah dalam karya sastra yang menggunakan bahasa sebagai media adalah intuisi pembaca.
Keempat, metode psikoanalisis, metode ini lebih menekankan pada unsur psokologis yang terdapat dalam suatu karya sastra yang tersembunyi dari sastrawan dalam menjelaskan karya sastranya. Metode ini juga bertolak dari asumsi bahwa karya sastra selalu membahas tentang peristiwa kehidupan manusia.melainkan manusia senantiasa memperhatikan perilaku yang beragam, sehingga bila kita ingin memahami manusia lebih dalam maka kita membutuhkan pemahaman tentang psikologi.
Kelima, metode aliran (ideologis), metode ini lebih mementingkan unsur-unsur ideologi dari sastrawan yang terdapat dalam karya sastranya. Sudut pandang metode ideologis ini berdasarkan dari system kepercayaan, nilai-nilai, dan kategori-kategori yang menjadi acuan bagi seseorang atau golongan dalam memahami dunia. Dengan kata lain, bila kita berbicara mengenai sudut pandang berlatar ideologis dalam teks naratif, kita mengartikannya sebagai seperangkat nilai atau kepercayaan yang dikomunikasikan lewat bahasa teks. Isi atau muatan ideologi ini merupakan suatu persoalan yang harus diidentifikasi melalui bahasa teks.

KRITIKUS SASTRA
Beberapa tokoh kritikus sastra pada masa klasik diantaranya:
a.       Al-Nabigah al-Zibyani, mengkritik Hassan bin Tsabit dalam sebuah syairnya.
b.      Ibnu Qutaibah, menulis al-Syi’r wa al-syu’ara.
c.       Al-Jahizh, menulis al-Bayan wa al-Tabyin.
d.      Hasan bin Basyar al-Amidi, menulis al-Muwazanah baina Abi Tamam wa al-Buhturi.
e.       Qudamah bin Ja’far, menulis Naqd al-syu’ara.
f.        Ibnu Rasyiq al-Qairawani, menulis al-Umdah fi Mahasin al-Syi’ri wa adabihi wa Naqdihi.
g.       ‘Abdul al-Qahir al-Jurjani, menulis dalail al-i’jaz wa Asrar al-Balaghah.
h.      Ibnu al-Asir, menulis al-Misl al-Sa’ir.

i.         Ibnu Sina al-Malik, menulis kaidah jenis sastra muwasysyah dalam bukunya Dar al-Tiraz.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar