Minggu, 11 Desember 2016

BELAJAR PENDIDIKAN DARI PESANTREN
Pendidikan merupakan langkah paling fundamental dalam membangun generasi kepemimpinan pemuda masa depan. Indonesia sebagai negara yang di masa depan akan dipimpin generasi mudanya mesti memiliki pemuda yang memiliki kapabilitas keilmuan dan kecakapan moralitas yang kuat. Sayangnya, sistem yang digunakan dalam pendidikan nasional terus berganti, seakan dengan bergantinya Menteri pendidikan, berganti pula sistem yang diterapkan dalam pendidikan nasional. Hal ini membuat karut marut pendidikan Indonesia yang tidak mempunyai tujuan utama apa yang akan menjadi output dari pendidikan nasional selama ini.
Potret pendidikan nasional
Salah satu yang menjadi representasi dari produk pendidikan yang selama ini kita terapkan adalah para pemimpin negara saat ini. Tentu jamak diketahui bahwa para pemimpin kita adalah hasil dari pendidikan nasional yang selama ini kita terapkan. Masalahnya, mayoritas masyarakat sudah muak atas kepemimpinan berbagai pimpinan lembaga negara. Sebagaimana terjadi di Parlemen, Kementerian dan berbagai penyelenggara negara lainnya.
Fenomena ini sungguh menjadi permasalahan yang serius bagi kita semua, terutama mahasiswa. Oleh karena mahasisawa merupakan generasi yang akan memimpin bangsa ini di masa depan. Untuk memformulasi sistem pendidikan yang akan diterapkan di Indonesia, haruslah selaras dengan cita-cita pendiri bangsa Founding Father. Dalam hal ini Ki Hajar Dewantara merumuskan aspek-aspek pendidikan yang ideal pertama, kontinuitas yaitu pendidikan harus dilakukan secara berturut-turut tidak terputus. Kedua, konsentris yakni pendidikan yang fokus pada pengembangan perilaku murid untuk menajdi teladan di masa depan. Ketiga, konvergen yakni menuju satu titik pertemuan yang bersifat sentris.
John Stuart Mill (filosof Inggris, 1806-1873 M) menjabarkan bahwa pendidikan itu meliputi segala sesuatu yang dikerjakan oleh seseorang untuk dirinya atau yang dikerjakan oleh orang lain untuk dia, dengan tujuan mendekatkan dia kepada tingkat kesempurnaan. Tentu keadaan terbalik justru terjadi di Indonesia di mana para pimpinan negara menampilkan perilaku amoral dan tindakan yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebagaimana beberapa bulan ini marak isu-isu korupsi, suap dan penyalahgunaan wewenang. Kasus Setia Novanto misalkan yang telah memperburuk citra bangsa Indonesia sebagai bangsa yang beradab dan berperilaku sesuai moralitas yang baik.
Meminjam  H. Horne, bahwa pendidikan adalah proses yang terus menerus (abadi) dari penyesuaian yang lebih tinggi bagi makhluk manusia yang telah berkembang secara fisik dan mental, yang bebas dan sadar kepada tuhan, seperti termanifestasi dalam alam sekitar intelektual, emosional dan kemanusiaan dari manusia. Bukan penagajaran semata untuk formalisme di dalam pendidikaan. Sebab dampak dari pengajaran semata tanpa proses pendidikan maka hasilnya juga akan sangat mengecewakan.
Sementara John Dewey, mengemukakan bahwa pendidikan adalah suatu proses pembaharuan makna pengalaman, hal ini mungkin akan terjadi di dalam pergaulan biasa atau pergaulan orang dewasa dengan orang muda, mungkin pula terjadi secara sengaja dan dilembagakan untuk menghasilkan kesinambungan social. Proses ini melibatkan pengawasan dan perkembangan dari orang yang belum dewasa dan kelompok dimana dia hidup.
Hal senada juga dikemukakan oleh Edgar Dalle bahwa Pendidikan seharusnya adalah usaha kesadaran yang dilakukan oleh keluarga, masyarakat, dan pemerintah melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan latihan, yang berlangsung di sekolah dan di luar sekolah sepanjang hayat untuk mempersiapkan peserta didik agar dapat mempermainkan peranan dalam berbagai lingkungan hidup secara tetap untuk masa yang akan datang.
Dari itu semua sangat jelas bahwa pendidikan sejatinya melahirkan manusia yang tidak hanya memiliki keilmuan yang dalam dengan profesionalisme yang kuat, melainkan pendidikan juga harus membentuk kepribadian manusia yang berintegritas dengan nilai-nilai akhlak moralitas yang luhur.
Belajar dari Pesantren
Melihat realita kepemimpinan yang mengalami krisis moralitas dan integritas maka kita perlu belajar pendidikan dari pesantren. Dalam hal ini pesantren mempunyai dasar-dasar pendidikan di antaranya adalah pertama, geneologi guru dan murid. Sistem yang digunakan pesantren memiliki kebebasan penuh tanpa dikekang dengan  produk yang mengekang, sehingga terjadi hubungan dua arah
Dalam hal pendidikan pesantren mendasari empat semangat di dalam jiwa sanubari santri, pertama ruh al-tadayun (semangat beragama yang dipahami, didalami dan diamalkan). Kedua, ruh al-wathoniyah (semangat cinta tanah air). Ketiga, ruh al-ta’addudiyah (semangat menghormati perbedaan). Dan keempat, ruh al-insaniyah (semangat kemanusiaan). Keempat semangat itu selalu melekat dalam jiwa santri karna pesantren senantiasa menjadikan empat pilar tersebut dalam proses pendidikannya dan pembelajarannya. Sehingga sistem pendidikan pesantren sangat layak untuk dijadikan sistem pendidikan di Indonesia, sebab pesantren telah membuktikan alumni-alumninya bisa menjadi pemimpin dan teladan di dalam sosial masyarakat.
Dalam konteks saat ini di mana pendidikan tidak mampu menghasilkan generasi muda yang berintegritas maka sangat diperlukan untuk menerapkan pendidikan ala pesantren. Hal itu sudah terbukti yang mana pesantren tidak hanya memberi pendidikan atas pengetahuan semata, melainkan juga tentang moralitas dan akhlak yang baik.

HAMMAM EL-MARISMA

(Mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Arab UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar