Minggu, 25 Desember 2016

Kritik sastra arab modern

KRITIK SASTRA ARAB MODERN
Sejarah
Sastra modern mengalami pembaruan dan bangkit kembali setelah perang dunia pertama, banyak faktor seputar perluasan pendapat pembaruan pada sastra dan syi’ir, dan golongan revolusi dari para sastrawan dan kritikus kontemporer pada sastra kuno atau penganut dari sastra klasik, dan adapun faktornya adalah:
1)     Menyebarnya budaya sastra di sejumlah besar sekolah, pondok, dan perguruan tinggi (universitas), berkat keunggulan Al-Azhar, akademik dan perkumpulan sastra, seperti perkumpulan linguistik di Mesir, perkumpulan ilmiah di Damaskus, perkumpulan Irak di Bagdad, dan berkat keunggulan percetakan yang setiap harinya banyak mencetak buku klasik dan modern.
2)     Publisitas literatur/sastra barat modern di lingkungan sastra kita, dan pengaruh tingkatan atau kwalitas dari sastrawan dan kritikus kita.
3)     Aspek baru dari peradaban, adegan kehidupan, hari demi hari, meninggalkan dampak di pikiran, jiwa, dan perasaan.
4)     Penyebaran semangat revolusi terhadap warisan sastra kuno antara tingkatan sastrawan yang lulus dari perguruan tinggi Mesir dan pondok barat.  Adapun para sastrawan yang mempertahankan dari budaya sastra kuno sendirinya, ini memiliki preferensi dan selera yang bervariasi seperti gerakan pembaruan sastra dan syi’ir: ada orang yang mengingkari janjinya dan meninggalkan warisan sastra kuno,  dan ada orang yang tetap bertahan dan percaya pada orang yang mengajaknya,  dan adapun orang yang yang berhenti di tengah-tengah maka dia akan mendapat kepandaian berbahasa (retorika), karakter, rasa, dan talenta dari masa klasik atau kuno, dan mendapat daya khayal, makna, surat-menyurat dari masa modern.[1]

Metode
1)     Romantisme (al-Rumantikiyyah)
Aliran yang mendasarkan ungkapan perasaan sebagai dasar perwujudan. Untuk mengungkapkan hal tersebut, sastrawan selalu berusaha menggambarkan realitas kehidupan dalam bentuk yang seindah-indahnya dan sehalus-halusnya, sehingga terlihat tanpa celah. Tujuan utama aliran ini adalah agar pembaca mampu tersentuh dan terbuai emosinya, sehingga setiap gejolak yang ada atau konflik yang ditonjolkan, biasanya disusun secara dramatis dan setuntas-tuntasnya.
Dalam hal ini, aliran romantik memang menomorsatukan rasa atau jiwa yang dalam dan menomorduakan rasio. Aliran ini pun menyerukan untuk mementingkan kebebasan dalam berkarya dan puisi atau prosa bersayap rasa yang didalamnya ada mimpi dan imajinasi, baik keindahan maupun kesedihan.[2]

2)     Strukturalisme (al-Binaiyyah)
Aliran strukturalisme memandang bahwa kritik sastra harus berpusat pada karya sastra itu sendiri, tanpa memperhatikan sastrawan sebagai pencipta dan pembaca sebagai penikmat, hal-hal yang disebut ekstrinsik (diluar karya sastra), seperti data-data biografi, psikologi, sosiologi, dan sejarah. Aliran ini menandai dimulainya studi sastra yang bukan bersifat diakronis, tetapi sinkronis. Karenanya, yang perlu dalam melakukan kritik sastra adalah close reading, pembacaan secara mickoskopis atas karya sastra sebagai bahasa. Karya sastra dalam hal ini merupakan karya otonom yang harus diteliti dari karya itu sendiri. Ide dasarnya adalah menolak teori mimetik (yang menganggap karya sastra sebagai tiruan masyarakat), teori ekspresif (yang melihat karya sastra sebagai ungkapan watak dan perasaan pengarang), dan pragmatik (yang memandang karya sastra sebagai media komunikasi antara pengarang dan pembaca yang musti berguna bagi pembaca).
Dengan begitu, seorang peneliti karya sastra tidak tergantung pada aspek diluar karya sastra, dan penelitian karya sastra menjadi positivistik, karena berdasarkan teksnya bisa dibuktikan secara empirik dengan merujuk teks sastra yang diteliti. Teks sastra pun menjadi sebanding dengan tingkah laku sosial, baik politik, ekonomi, maupun sikap sosial lainnya yang menjadi rujukan empiris ilmu politik, ekonomi, dan sosiologi.
Dalam strukturalisme, yang penting bukanlah penjumlahan anasir-anasir sastra, tetapi sumbangan yang diberikan semua anasir pada keseluruhan makna dalam keterkaitan dan keterjalinannya secara keseluruhan atau koherensinya. Hal ini karena menurut aliran struktural, unsur teks hanya memperoleh arti penuh melalui relasi, terutama dalam konteks sastra, relasi asosiasi.  Karya sastra dilihat kaum strukturalis sebagai fenomena yang memiliki struktur (bangunan) yang saling terkait satu sama lain.
Dengan demikian, kritik struktural adalah kritik objektik yang menekankan aspek intrinsik karya sastra, dimana yang menentukan estetikannya tidak saja estetika bahasa yang digunakan, tetapi juga relasi antar unsur. Unsur-unsur itu dilihat sebagai sebuah artefak (benda seni) yang terdiri dari berbagai unsur. Prosa terdiri dari tema, plot, latar, tokoh, dan gaya bahasa. Sedangkan puisi terdiri dari tema, stilistika atau gaya bahasa, imajinasi atau daya bayang, ritme atau irama (mantra [bahr/wazan dalam puisi tradisional Arab]), rima atau persajakan (qafiyah dalam puisi Arab tradisional), diksi atau pilihan kata, simbol, dan enjambemen (sambung-menyambungnya baris atau larik seperti qasidah yang barisnya dua sejajar atau ruba’iyyat yang barisnya empat dengan tersusun ke bawah). Semua unsur-unsur itu dilihat teori strukturalisme jalin menjalin dengan rapi yang memiliki interrelasi dan saling ketergantungan (interrelation and mutual dependencies).[3]

3)     Semiotik (Simiyulujiyyah)
Semiotik berasal dari bahasa Yunani, seme, yang berarti penafsir tanda. Literatur lain menyebut dari kata semeion, yang berarti tanda. Berdasarkan arti leksikal itu, semiotik didefinisikan Aart Van Zoest sebagai ilmu tentang tanda dan segala yang berhubungan dengannya; cara-cara berfungsinya, hubungannya dengan tanda lain, pengirimnya, dan penerimanya oleh mereka yang menggunakannya. Paul Cobley dan Litza Janz mendefinisikan semiotik sebagai studi sistematis mengenai produksi dan interpretasi tanda, bagaimana cara kerjanya, dan apa manfaatnya terhadap kehidupan manusia. Sedangkan yang dimaksud tanda adalah segala sesuatu yang dapat diamati dan diidentifikasi.
Jadi, semiotika dengan demikian tidak hanya menyangkut studi tentang objek tertentu, bahasa misalnya, tetapi studi tentang objek pada umumnya asalkan objek itu merupakan bagian semiosis, yaitu, proses pemaknaan tanda.
Lebih lanjut, Eco menerangkan bahwa semiotika menjadi teori umum tentang kebudayaan dan setiap aspek kebudayaan yang menjadi sebuah unit semantik dapat dikaji dengan sempurna secara semiotik. Karena itulah, wajar jika semiotik dipakai sebagai teori untuk studi, bukan saja sastra, melainkan juga yang lain seperti antropologi dan seni.
Kegunaan semiotik, sebagaimana dikutip diatas, bahwa kita hanya dapat berpikir dengan sarana tanda. Karena itu, tanpa tanda kita tidak dapat berkomunikasi. Tanda-tanda yang dimaksud bukan saja tanda-tanda linguistik, sebagai kategori paling penting yang mempunyai kelebihan dari sistem tanda lainnya, tetapi juga, seperti telah disinggung, tanda pada umumnya. oleh sebab itu, mengingat semiotik merupakan ilmu tentang tanda, maka lewat semiotika, komunikasi serta signifikasi menjadi lebih gamblang.[4]

4)     Sosiologi sastra
Yaitu ilmu yang membahas hubungan antara pengarang dengan kelas sosialnya, status sosial dan ideologinya, kondisi ekonomi dalam profesinya, dan segmen pembaca yang ditujunya. Dalam sosiologi sastra ini, karya sastra, baik isi maupun bentuknya, dilihat secara mutlak terkondisikan oleh lingkungan dan kekuatan sosial tertentu pada periodenya.
Menurut Hippoyte Taine (1766-1817) sebagai peletak dasar sosiologi sastra modern, sebuah karya sastra merupakan faktor yang dipengaruhi oleh ras (apa yang diwarisi manusia dalam jiwa dan raganya), moment (situasi sosial politik pada masanya), dan lingkungan (keadaan alam, iklim, dan sosial).[5]

5)     Feminisme
Kritik sastra feminis merupakan salah satu disiplin ilmu kritik sastra yang lahir sebagai respon atas berkembangnya feminisme di berbagai penjuru dunia. Inti tujuan feminisme adalah meningkatkan kedudukan dan derajat perempuan agar sama atau sejajar dengan kedudukan serta derajat laki-laki.
Arti sederhana dari kritik sastra feminis adalah pengkritik memandang sastra dengan kesadaran khusus, kesadaran bahwa ada jenis kelamin yang banyak berhubungan dengan budaya, sastra, dan kehidupan kita. Jenis kelamin inilah yang membuat perbedaan diantara semuanya yang juga membuat perbedaan pada diri pengarang, pembaca, perwatakan, dan pada faktor luar yang mempengaruhi situasi karang-mengarang. Kritik sastra feminis adalah alasan yang kuat untuk menyatukan pendirian bahwa seorang perempuan dapat membaca sebagai perempuan, mengarang sebagai perempuan, dan menafsirkan karya sastra sebagai perempuan.[6]

6)     Psikoanalisa
Metode ini mementingkan unsur psikologis yang tersembunyi dari sastrawan dalam menjelaskan karya sastranya.[7]

Kritikus
Ibn Salam al-Jamhi (231 H)
Al-Amdhi (371 H)
Al-Qadhi al-Jurjani (392 H)
Ibn Rasyiq (456 H)
Abi Hilal al-Askari (395 H)
Abdul Qahir al-Jurjani (471 H)
Ibn al-Atsir (637 H)
Izzudin Ismail
Toha Husain
Muhammad Kamal Husain[8]





[1] Abdul Mun’im Khofaji Muhammad, Madaris an-Naqd al-Adaby al-Hadist, hal 87
[2] Kamil Sukron, Teori Kritik Sastra Arab Klasik & Modern, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2012, hal 165.
[3] Kamil Sukron, Teori Kritik Sastra Arab Klasik & Modern, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2012, hal 183.
[4] Kamil Sukron, Teori Kritik Sastra Arab Klasik & Modern, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2012, hal 194.
[5] Kamil Sukron, Teori Kritik Sastra Arab Klasik & Modern, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2012, hal 113.
[6] https://othersidemiku.wordpress.com/2014/06/23/kritik-sastra-feminis/
[7] Kamil Sukron, Teori Kritik Sastra Arab Klasik & Modern, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2012, hal 60.
[8] Abdul Mun’im Khofaji Muhammad, Madaris an-Naqd al-Adaby al-Hadist, hal 119.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar