KRITIK
SASTRA ARAB MODERN
Sejarah
Sastra
modern mengalami pembaruan dan bangkit kembali setelah perang dunia pertama,
banyak faktor seputar perluasan pendapat pembaruan pada sastra dan syi’ir, dan
golongan revolusi dari para sastrawan dan kritikus kontemporer pada sastra kuno
atau penganut dari sastra klasik, dan adapun faktornya adalah:
1)
Menyebarnya budaya
sastra di sejumlah besar sekolah, pondok, dan perguruan tinggi (universitas),
berkat keunggulan Al-Azhar, akademik dan perkumpulan sastra, seperti
perkumpulan linguistik di Mesir, perkumpulan ilmiah di Damaskus, perkumpulan
Irak di Bagdad, dan berkat keunggulan percetakan yang setiap harinya banyak
mencetak buku klasik dan modern.
2)
Publisitas
literatur/sastra barat modern di lingkungan sastra kita, dan pengaruh tingkatan
atau kwalitas dari sastrawan dan kritikus kita.
3)
Aspek baru dari
peradaban, adegan kehidupan, hari demi hari, meninggalkan dampak di pikiran,
jiwa, dan perasaan.
4)
Penyebaran semangat
revolusi terhadap warisan sastra kuno antara tingkatan sastrawan yang lulus
dari perguruan tinggi Mesir dan pondok barat. Adapun para sastrawan yang mempertahankan dari
budaya sastra kuno sendirinya, ini memiliki preferensi dan selera yang
bervariasi seperti gerakan pembaruan sastra dan syi’ir: ada orang yang
mengingkari janjinya dan meninggalkan warisan sastra kuno, dan
ada orang yang tetap bertahan dan percaya pada orang yang mengajaknya, dan
adapun orang yang yang berhenti di tengah-tengah maka dia akan mendapat kepandaian
berbahasa (retorika), karakter, rasa, dan talenta dari masa klasik atau kuno,
dan mendapat daya khayal, makna, surat-menyurat dari masa modern.[1]
Metode
1) Romantisme
(al-Rumantikiyyah)
Aliran yang mendasarkan ungkapan perasaan sebagai dasar
perwujudan. Untuk mengungkapkan hal tersebut, sastrawan selalu berusaha
menggambarkan realitas kehidupan dalam bentuk yang seindah-indahnya dan
sehalus-halusnya, sehingga terlihat tanpa celah. Tujuan utama aliran ini adalah
agar pembaca mampu tersentuh dan terbuai emosinya, sehingga setiap gejolak yang
ada atau konflik yang ditonjolkan, biasanya disusun secara dramatis dan
setuntas-tuntasnya.
Dalam hal ini, aliran romantik memang menomorsatukan rasa
atau jiwa yang dalam dan menomorduakan rasio. Aliran ini pun menyerukan untuk
mementingkan kebebasan dalam berkarya dan puisi atau prosa bersayap rasa yang
didalamnya ada mimpi dan imajinasi, baik keindahan maupun kesedihan.[2]
2) Strukturalisme
(al-Binaiyyah)
Aliran strukturalisme memandang bahwa kritik sastra harus
berpusat pada karya sastra itu sendiri, tanpa memperhatikan sastrawan sebagai
pencipta dan pembaca sebagai penikmat, hal-hal yang disebut ekstrinsik (diluar
karya sastra), seperti data-data biografi, psikologi, sosiologi, dan sejarah.
Aliran ini menandai dimulainya studi sastra yang bukan bersifat diakronis,
tetapi sinkronis. Karenanya, yang perlu dalam melakukan kritik sastra adalah close
reading, pembacaan secara mickoskopis atas karya sastra sebagai bahasa.
Karya sastra dalam hal ini merupakan karya otonom yang harus diteliti dari
karya itu sendiri. Ide dasarnya adalah menolak teori mimetik (yang menganggap
karya sastra sebagai tiruan masyarakat), teori ekspresif (yang melihat karya
sastra sebagai ungkapan watak dan perasaan pengarang), dan pragmatik (yang
memandang karya sastra sebagai media komunikasi antara pengarang dan pembaca
yang musti berguna bagi pembaca).
Dengan begitu, seorang peneliti karya sastra tidak
tergantung pada aspek diluar karya sastra, dan penelitian karya sastra menjadi
positivistik, karena berdasarkan teksnya bisa dibuktikan secara empirik dengan
merujuk teks sastra yang diteliti. Teks sastra pun menjadi sebanding dengan tingkah
laku sosial, baik politik, ekonomi, maupun sikap sosial lainnya yang menjadi
rujukan empiris ilmu politik, ekonomi, dan sosiologi.
Dalam strukturalisme, yang penting bukanlah penjumlahan
anasir-anasir sastra, tetapi sumbangan yang diberikan semua anasir pada
keseluruhan makna dalam keterkaitan dan keterjalinannya secara keseluruhan atau
koherensinya. Hal ini karena menurut aliran struktural, unsur teks hanya
memperoleh arti penuh melalui relasi, terutama dalam konteks sastra, relasi
asosiasi. Karya sastra dilihat kaum
strukturalis sebagai fenomena yang memiliki struktur (bangunan) yang saling
terkait satu sama lain.
Dengan demikian, kritik struktural adalah kritik objektik
yang menekankan aspek intrinsik karya sastra, dimana yang menentukan
estetikannya tidak saja estetika bahasa yang digunakan, tetapi juga relasi
antar unsur. Unsur-unsur itu dilihat sebagai sebuah artefak (benda seni) yang
terdiri dari berbagai unsur. Prosa terdiri dari tema, plot, latar, tokoh, dan
gaya bahasa. Sedangkan puisi terdiri dari tema, stilistika atau gaya bahasa,
imajinasi atau daya bayang, ritme atau irama (mantra [bahr/wazan dalam
puisi tradisional Arab]), rima atau persajakan (qafiyah dalam puisi Arab
tradisional), diksi atau pilihan kata, simbol, dan enjambemen (sambung-menyambungnya
baris atau larik seperti qasidah yang barisnya dua sejajar atau ruba’iyyat
yang barisnya empat dengan tersusun ke bawah). Semua unsur-unsur itu dilihat
teori strukturalisme jalin menjalin dengan rapi yang memiliki interrelasi dan
saling ketergantungan (interrelation and mutual dependencies).[3]
3)
Semiotik (Simiyulujiyyah)
Semiotik berasal dari bahasa Yunani, seme, yang
berarti penafsir tanda. Literatur lain menyebut dari kata semeion, yang
berarti tanda. Berdasarkan arti leksikal itu, semiotik didefinisikan Aart Van
Zoest sebagai ilmu tentang tanda dan segala yang berhubungan dengannya;
cara-cara berfungsinya, hubungannya dengan tanda lain, pengirimnya, dan
penerimanya oleh mereka yang menggunakannya. Paul Cobley dan Litza Janz
mendefinisikan semiotik sebagai studi sistematis mengenai produksi dan
interpretasi tanda, bagaimana cara kerjanya, dan apa manfaatnya terhadap
kehidupan manusia. Sedangkan yang dimaksud tanda adalah segala sesuatu yang
dapat diamati dan diidentifikasi.
Jadi, semiotika dengan demikian tidak hanya menyangkut studi
tentang objek tertentu, bahasa misalnya, tetapi studi tentang objek pada
umumnya asalkan objek itu merupakan bagian semiosis, yaitu, proses pemaknaan tanda.
Lebih lanjut, Eco menerangkan bahwa semiotika menjadi teori
umum tentang kebudayaan dan setiap aspek kebudayaan yang menjadi sebuah unit
semantik dapat dikaji dengan sempurna secara semiotik. Karena itulah, wajar
jika semiotik dipakai sebagai teori untuk studi, bukan saja sastra, melainkan
juga yang lain seperti antropologi dan seni.
Kegunaan semiotik, sebagaimana dikutip diatas, bahwa kita
hanya dapat berpikir dengan sarana tanda. Karena itu, tanpa tanda kita tidak
dapat berkomunikasi. Tanda-tanda yang dimaksud bukan saja tanda-tanda
linguistik, sebagai kategori paling penting yang mempunyai kelebihan dari
sistem tanda lainnya, tetapi juga, seperti telah disinggung, tanda pada
umumnya. oleh sebab itu, mengingat semiotik merupakan ilmu tentang tanda, maka
lewat semiotika, komunikasi serta signifikasi menjadi lebih gamblang.[4]
4)
Sosiologi sastra
Yaitu ilmu yang membahas hubungan antara pengarang dengan
kelas sosialnya, status sosial dan ideologinya, kondisi ekonomi dalam
profesinya, dan segmen pembaca yang ditujunya. Dalam sosiologi sastra ini,
karya sastra, baik isi maupun bentuknya, dilihat secara mutlak terkondisikan
oleh lingkungan dan kekuatan sosial tertentu pada periodenya.
Menurut Hippoyte Taine (1766-1817) sebagai peletak dasar
sosiologi sastra modern, sebuah karya sastra merupakan faktor yang dipengaruhi
oleh ras (apa yang diwarisi manusia dalam jiwa dan raganya), moment
(situasi sosial politik pada masanya), dan lingkungan (keadaan alam, iklim, dan
sosial).[5]
5)
Feminisme
Kritik sastra feminis merupakan salah satu disiplin ilmu
kritik sastra yang lahir sebagai respon atas berkembangnya feminisme di
berbagai penjuru dunia. Inti tujuan feminisme adalah meningkatkan kedudukan dan
derajat perempuan agar sama atau sejajar dengan kedudukan serta derajat laki-laki.
Arti sederhana dari kritik sastra feminis adalah pengkritik
memandang sastra dengan kesadaran khusus, kesadaran bahwa ada jenis kelamin
yang banyak berhubungan dengan budaya, sastra, dan kehidupan kita. Jenis
kelamin inilah yang membuat perbedaan diantara semuanya yang juga membuat
perbedaan pada diri pengarang, pembaca, perwatakan, dan pada faktor luar yang
mempengaruhi situasi karang-mengarang. Kritik sastra feminis adalah alasan yang
kuat untuk menyatukan pendirian bahwa seorang perempuan dapat membaca sebagai
perempuan, mengarang sebagai perempuan, dan menafsirkan karya sastra sebagai
perempuan.[6]
6)
Psikoanalisa
Metode ini mementingkan unsur psikologis yang tersembunyi
dari sastrawan dalam menjelaskan karya sastranya.[7]
Kritikus
Ibn Salam al-Jamhi (231 H)
Al-Amdhi (371 H)
Al-Qadhi al-Jurjani (392 H)
Ibn Rasyiq (456 H)
Abi Hilal al-Askari (395 H)
Abdul Qahir al-Jurjani (471 H)
Ibn al-Atsir (637 H)
Izzudin Ismail
Toha Husain
Muhammad Kamal Husain[8]
[1] Abdul
Mun’im Khofaji Muhammad, Madaris an-Naqd al-Adaby al-Hadist, hal 87
[2] Kamil
Sukron, Teori Kritik Sastra Arab Klasik & Modern, Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2012, hal 165.
[3] Kamil
Sukron, Teori Kritik Sastra Arab Klasik & Modern, Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2012, hal 183.
[4] Kamil
Sukron, Teori Kritik Sastra Arab Klasik & Modern, Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2012, hal 194.
[5] Kamil
Sukron, Teori Kritik Sastra Arab Klasik & Modern, Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2012, hal 113.
[6] https://othersidemiku.wordpress.com/2014/06/23/kritik-sastra-feminis/
[7] Kamil
Sukron, Teori Kritik Sastra Arab Klasik & Modern, Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2012, hal 60.
[8] Abdul Mun’im
Khofaji Muhammad, Madaris an-Naqd al-Adaby al-Hadist, hal 119.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar