MENGENAL KARAKTERISTIK
PERADABAN JAWA
Karakteristik
merupakan sifat paling fundamental yang tertanam dalam diri seseorang. Yang itu
bisa berubah sewaktu waktu, menyesuaikan tempat tinggal seorang tersebut. Dan
yang paling bisa mempengaruhi atau membentuk karakter seseorang adalah ketika
dia masih dalam usia dini. Sebagai salah satu contohnya adalah instabilitas
yang merupakan dampak nyata dari pembangunan karakter yang hanya menekankan
pada loyalitas, tanpa ditunjang dengan adanya kwalitas. Dan itu sangatlah miris.
Bagaikan robot yang hanya nurut perintah atasan, tanpa ada daur ulang perintah
itu. Layak tidaknya tindakan bila terealisasi.
Sopan
Santun
Secara
leksikografis sopan santun berarti sebuah sifat luhur seseorang yang memiliki
budi pekerti yang baik; tata krama; kesusilaan. Hal ini tentu sangat berkaitan
pada orang jawa, bahkan telah ditanamkan pada diri seorang sejak dini, dari
pendidikan dasar dimana telah menjadi mata pelajaran tersendiri.
Dalam
sebuah madrasah ataupun dalam sebuah pesantren, sopan santun merupakan sebuah
adat yang wajib ada pada diri seorang santri. Sebagaimana dalam pepatah jawa
dikatakan “Ajine Rogo Songko Busono lan Ajine Diri Songko Lati”. Yang
berarti nilai diri/jiwa seseorang itu bergantung pada busana atau pakaian yang
dikenakan seorang itu sendiri. Seperti halnya yang biasa didawuhkan (diucapkan)
seorang tokoh masyarakat atau kyai, bahwa meski kita kaya akan ilmu, wawasan,
dan pengetahuan. Namun bila sebuah pakaian yang kita kenakan itu mencerminkan
pada kriminalitas, maka tak lain masyarakat pun akan menganggapnya sebagai
seorang berandal, orang yang nakal, dan akan dipandang sebelah mata oleh
masyarakat.
Yang
kedua adalah Ajine Diri Songko Lati, maksudnya disini adalah seorang itu
secara umum dinilai berdasarkan ucapan dan kata-kata yang keluar dari mulut
seorang penutur, baik itu berupa nasihat maupun berupa cemoohan. Hal ini tentu
sangat berpengaruh dalam penilaian masyarakat terhadap diri seorang tersebut.
Djajendra
menjabarkan bahwa sopan santun bukanlah perilaku yang berpura-pura baik untuk
sebuah kepentingan, tapi merupakan ekspresi dari sikap rendah hati, yang
diperkuat oleh etika dan integritas pribadi dalam konsistensi perilaku. Ketika
seseorang kehilangan sopan santun dalam kehidupan, maka dia sedang meracuni
kehidupan dengan sikap dan perilaku buruk. Sopan santun memperlihatkan kualitas
kepribadian seseorang. Semakin rendah hati dan beretika seseorang, maka dia
akan mengekspresikan sopan santun dengan tulus dan penuh percaya diri.
Suku
jawa umumnya mereka lebih suka menyembunyikan perasaan. Menampik tawaran dengan
halus demi sebuah etika dan sopan santun sikap yang dijaga. Menjaga etika
berbicara baik secara konten isi dan bahasa perkataan maupun objek yang diajak
berbicara, dalam keseharian sifat Andap Asor terhadap yang lebih tua
akan di utamakan. Suku Jawa memang sangat menjujung tinggi etika. Baik secara
sikap maupun berbicara. Untuk berbicara, seorang yang lebih muda hendaknya
menggunakan bahasa Jawa halus yang terkesan lebih sopan.
Berbeda
dengan bahasa yang digunakan untuk rekan sebaya maupun yang usianya di bawah.
Demikian juga dengan sikap, orang yang lebih muda hendaknya betul-betul mampu
menjaga sikap etika yang baik terhadap orang yang usianya lebih tua dari
dirinya, dalam bahasa Jawa Ngajeni.
Adat
Istiadat
Gotong
royong merupakan salah satu bentuk eksistensi adat yang di pegang orang jawa.
Yaitu saling membantu sesama orang di lingkungan hidupnya apalagi lebih kentara
sifat itu bila bertandang ke pelosok pelosok daerah suku Jawa di mana sikap
gotong royong akan selalu terlihat dalam setiap sendi kehidupannya, baik itu
suasana suka maupun duka. Orang jawa sangat memegang teguh pepatah yang
mengatakan: ringan sama dijinjing, berat sama dipikul. Ini merupakan konsep
dasar hidup bersama yang penuh kesadaran dan tanggung jawab.
Dan
pada hari ini, tradisi Maulud Nabi atau yang lebih dikenal oleh masyarakat jawa
sebagai perayaan Grebeg. Upacara Grebeg merupakan ritual budaya sebagai puncak
perayaan Sekaten untuk memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad SAW. Upacara
Grebeg ini digelar di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Melihat dari asal
bahasanya, Grebeg berasal dari kata “Gumrebeg” yang berarti riuh dan ramai. Hal
itu menggambarkan pada saat acara Grebeg, suasananya sangat riuh dan ramai.
Ada
banyak makna yang terkandung dalam perayaan Grebeg di Yogyakarta. Perayaan ini
selain memperingati Nabi Muhammad SAW juga ada hubungan yang sangat dekat
dengan rakyatnya. Seorang raja memberikan berbagai hasil bumi untuk kemakmuran
rakyat yang di simbolkan dengan gunungan.
Disisi
lain, konsep hidup “Nerimo Ing Pandum” (ora ngoyo) selanjutnya
mengisyaratkan bahwa orang jawa hidupnya tidak terlalu berambisi. Menjalani
segala sesuatu yang harus di jalani. Tidak perlu terlalu berambisi untuk
melakukan sesuatu yang nyata-nyata tidak dapat di lakukan. Hidup sudah mengalir
sesuai dengan koridornya. Bisa saja mempercepat laju aliran tersebut, tetapi
laju tersebebut janganlah terlalu drastis. Perubahan tersebut hanya sebuah
improvisasi atas kehidupan yang lebih baik dari sebelumnya. Orang jawa
mengatakan dengan istilah Jangan ngoyo. Biarkan hidup membawamu sesuai
dengan alirannya. Jangan membawa hidup dengan tenagamu.
Bagi
orang jawa, hidup dan kehidupan itu sama dengan kendaraan. Dia akan membawa
pengemudi pada tujuan yang pasti. Orang Jawa memposisikan diri sebagai
penumpang. Kendaraan, atau hiduplah yang membawa mereka menuju kehidupan yang
lebih baik. Mereka tidak membawa kendaraan tersebut, melainkan dibawa oleh
kendaraan. Seperti air dalam sungai. Jika mereka mengalir biasa, maka
kondisinya aman dan nyaman. Tetapi ketika alirannya dipaksa untuk besar, maka
aliran sungai tersebut tidak aman lagi bagi kehidupan.
Orang
Jawa memahami hal tersebut sehingga menerapkan konsep hidup jangan ngoyo.
Ngoyo artinya memaksakan diri untuk melakukan sesuatu. Jika seseorang
memaksakan diri untuk melakukan sesuatu, maka kemungkinan besar seseorang itu
akan mengalami sesuatu yang kurang baik, misalnya dia akan sakit. Rasa sakit
terjadi karena ada pemaksaan terhadap kemampuan sesungguhnya yang di miliki.
HAMMAM EL-MARISMA
(Mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Arab UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar