Senin, 12 Desember 2016

MENGENAL KARAKTERISTIK PERADABAN JAWA
Karakteristik merupakan sifat paling fundamental yang tertanam dalam diri seseorang. Yang itu bisa berubah sewaktu waktu, menyesuaikan tempat tinggal seorang tersebut. Dan yang paling bisa mempengaruhi atau membentuk karakter seseorang adalah ketika dia masih dalam usia dini. Sebagai salah satu contohnya adalah instabilitas yang merupakan dampak nyata dari pembangunan karakter yang hanya menekankan pada loyalitas, tanpa ditunjang dengan adanya kwalitas. Dan itu sangatlah miris. Bagaikan robot yang hanya nurut perintah atasan, tanpa ada daur ulang perintah itu. Layak tidaknya tindakan bila terealisasi.
Sopan Santun
Secara leksikografis sopan santun berarti sebuah sifat luhur seseorang yang memiliki budi pekerti yang baik; tata krama; kesusilaan. Hal ini tentu sangat berkaitan pada orang jawa, bahkan telah ditanamkan pada diri seorang sejak dini, dari pendidikan dasar dimana telah menjadi mata pelajaran tersendiri.
Dalam sebuah madrasah ataupun dalam sebuah pesantren, sopan santun merupakan sebuah adat yang wajib ada pada diri seorang santri. Sebagaimana dalam pepatah jawa dikatakan “Ajine Rogo Songko Busono lan Ajine Diri Songko Lati”. Yang berarti nilai diri/jiwa seseorang itu bergantung pada busana atau pakaian yang dikenakan seorang itu sendiri. Seperti halnya yang biasa didawuhkan (diucapkan) seorang tokoh masyarakat atau kyai, bahwa meski kita kaya akan ilmu, wawasan, dan pengetahuan. Namun bila sebuah pakaian yang kita kenakan itu mencerminkan pada kriminalitas, maka tak lain masyarakat pun akan menganggapnya sebagai seorang berandal, orang yang nakal, dan akan dipandang sebelah mata oleh masyarakat.
Yang kedua adalah Ajine Diri Songko Lati, maksudnya disini adalah seorang itu secara umum dinilai berdasarkan ucapan dan kata-kata yang keluar dari mulut seorang penutur, baik itu berupa nasihat maupun berupa cemoohan. Hal ini tentu sangat berpengaruh dalam penilaian masyarakat terhadap diri seorang tersebut.
Djajendra menjabarkan bahwa sopan santun bukanlah perilaku yang berpura-pura baik untuk sebuah kepentingan, tapi merupakan ekspresi dari sikap rendah hati, yang diperkuat oleh etika dan integritas pribadi dalam konsistensi perilaku. Ketika seseorang kehilangan sopan santun dalam kehidupan, maka dia sedang meracuni kehidupan dengan sikap dan perilaku buruk. Sopan santun memperlihatkan kualitas kepribadian seseorang. Semakin rendah hati dan beretika seseorang, maka dia akan mengekspresikan sopan santun dengan tulus dan penuh percaya diri.
Suku jawa umumnya mereka lebih suka menyembunyikan perasaan. Menampik tawaran dengan halus demi sebuah etika dan sopan santun sikap yang dijaga. Menjaga etika berbicara baik secara konten isi dan bahasa perkataan maupun objek yang diajak berbicara, dalam keseharian sifat Andap Asor terhadap yang lebih tua akan di utamakan. Suku Jawa memang sangat menjujung tinggi etika. Baik secara sikap maupun berbicara. Untuk berbicara, seorang yang lebih muda hendaknya menggunakan bahasa Jawa halus yang terkesan lebih sopan.
Berbeda dengan bahasa yang digunakan untuk rekan sebaya maupun yang usianya di bawah. Demikian juga dengan sikap, orang yang lebih muda hendaknya betul-betul mampu menjaga sikap etika yang baik terhadap orang yang usianya lebih tua dari dirinya, dalam bahasa Jawa Ngajeni.
Adat Istiadat
Gotong royong merupakan salah satu bentuk eksistensi adat yang di pegang orang jawa. Yaitu saling membantu sesama orang di lingkungan hidupnya apalagi lebih kentara sifat itu bila bertandang ke pelosok pelosok daerah suku Jawa di mana sikap gotong royong akan selalu terlihat dalam setiap sendi kehidupannya, baik itu suasana suka maupun duka. Orang jawa sangat memegang teguh pepatah yang mengatakan: ringan sama dijinjing, berat sama dipikul. Ini merupakan konsep dasar hidup bersama yang penuh kesadaran dan tanggung jawab.
Dan pada hari ini, tradisi Maulud Nabi atau yang lebih dikenal oleh masyarakat jawa sebagai perayaan Grebeg. Upacara Grebeg merupakan ritual budaya sebagai puncak perayaan Sekaten untuk memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad SAW. Upacara Grebeg ini digelar di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Melihat dari asal bahasanya, Grebeg berasal dari kata “Gumrebeg” yang berarti riuh dan ramai. Hal itu menggambarkan pada saat acara Grebeg, suasananya sangat riuh dan ramai.
Ada banyak makna yang terkandung dalam perayaan Grebeg di Yogyakarta. Perayaan ini selain memperingati Nabi Muhammad SAW juga ada hubungan yang sangat dekat dengan rakyatnya. Seorang raja memberikan berbagai hasil bumi untuk kemakmuran rakyat yang di simbolkan dengan gunungan.
Disisi lain, konsep hidup “Nerimo Ing Pandum” (ora ngoyo) selanjutnya mengisyaratkan bahwa orang jawa hidupnya tidak terlalu berambisi. Menjalani segala sesuatu yang harus di jalani. Tidak perlu terlalu berambisi untuk melakukan sesuatu yang nyata-nyata tidak dapat di lakukan. Hidup sudah mengalir sesuai dengan koridornya. Bisa saja mempercepat laju aliran tersebut, tetapi laju tersebebut janganlah terlalu drastis. Perubahan tersebut hanya sebuah improvisasi atas kehidupan yang lebih baik dari sebelumnya. Orang jawa mengatakan dengan istilah Jangan ngoyo. Biarkan hidup membawamu sesuai dengan alirannya. Jangan membawa hidup dengan tenagamu.
Bagi orang jawa, hidup dan kehidupan itu sama dengan kendaraan. Dia akan membawa pengemudi pada tujuan yang pasti. Orang Jawa memposisikan diri sebagai penumpang. Kendaraan, atau hiduplah yang membawa mereka menuju kehidupan yang lebih baik. Mereka tidak membawa kendaraan tersebut, melainkan dibawa oleh kendaraan. Seperti air dalam sungai. Jika mereka mengalir biasa, maka kondisinya aman dan nyaman. Tetapi ketika alirannya dipaksa untuk besar, maka aliran sungai tersebut tidak aman lagi bagi kehidupan.
Orang Jawa memahami hal tersebut sehingga menerapkan konsep hidup jangan ngoyo. Ngoyo artinya memaksakan diri untuk melakukan sesuatu. Jika seseorang memaksakan diri untuk melakukan sesuatu, maka kemungkinan besar seseorang itu akan mengalami sesuatu yang kurang baik, misalnya dia akan sakit. Rasa sakit terjadi karena ada pemaksaan terhadap kemampuan sesungguhnya yang di miliki.


HAMMAM EL-MARISMA
(Mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Arab UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar