Jumat, 28 April 2017

Tulisan Hilang, Peradaban Melayang

TULISAN HILANG, PERADABAN MELAYANG
Pergolakan bahkan perdebatan seringkali terjadi dalam dunia kesusasteraan, banyak orang tidak mengetahui bahwa sastra merupakan bagian dari sejarah yang terlupakan. Indonesia merupakan salah satu negara yang terbilang masih bungkam akan perkembangan sastra. Dunia sastra adalah dunia yang membutuhkan kejujuran dalam setiap rangkaian-rangkaian kata-katanya. Menyangkut kembali relasi antara sastra dengan sejarah bangsa, sejak Pra kemerdekaan banyak sastrawan pribumi yang memiliki kualitas kognitif dan emosional kritis, mengkritik bangsa ini melalui setiap bait-bait kalimat mendalamnya.
Kalimat-kalimat sadis tersebut seperti akan membunuh setiap perlakuan, kelakuan bahkan tingkah laku pada masanya. Teks dalam aneka tulisan tersebut melahirkan paradigma disetiap lapisan masyarakat. Tulisan dapat mengubah segalanya, melalui karya goresan dan pemikiran sang penyair, penulis bahkan banyak jenis dari satrawan membuktikan kepada dunia. Dengan sastra dunia menjadi hidup. Sastra berbicara dalam keadaan diam, namun bergerak tanpa perpindahan. 
Perumpamaan yang sangat ambigu bertumpuk-tumpuk bahkan tak masuk akal dan logika. Sastra tidak tampak jika seseorang tidak mendalaminya, dunia sastra adalah dunia yang penuh akan pemahaman. Apabila, kita belajar bersumber pada filsafat untuk mengetahui dan mengkaji semua ilmu pengetahuan di muka bumi ini dalam proses mencari jati diri dan menemukan siapa diri kita sebenarnya. Dan melalui filsafat kita akan menemukannya, kendati dengan sastra bukan hanya kita dapat memahami diri sendiri melainkan keadaan orang lain secara utuh kita memahaminya.
membahas sastra sepertinya tak ayal kita akan mengenal berbagai karya seperti, novel, puisi, sajak, cerpen dan lain-lain. Sastra berkembang dan selalu mengalami perubahan sesuai dengan zamannya, dimana dipengaruhi oleh pemikiran yang dominan serta dampak yang ditimbulkan kepada masyarakat pada zaman itu. 
Saya ambil contoh saja, sastrawan Indonesia angkatan 45 seperti Chairil Anwar dengan puisi ”Aku” menceritakan keadaan dimana sosok seseorang yang terpuruk pada masa itu, di negeri sendiri tetapi menjadi budak dengan jajahan negeri asing. Pada angkatan 45 para sastrawan mengkisahkan segala dan mencurahkan kritisi mereka keluh kesah dengan puisi-puisi penentang. Belum lagi, pada masa angkatan 66 dimana sekumpulan sastrawan masa ini membentuk dan menerapkan apa yang di cita-citakan oleh Soekarno mendukukung perkembangan sastra. Puisi tentang keadilan dan kebenaran  menjadi bahan utama pada setiap ide-idenya.
Tulisan-tulisan yang tertuang dalam karya sastrawan mendeskripsikan moral-moral bahkan perilaku-perilaku manusia terhadap dunia. Sastra bercerita tentang sang penulis dan mengungkapkan yang dilihat sang penulis. Jelas sekali, moral-moral yang terjadi dapat terlihat. Tanpa sedikitpun meleset puisi-puisi pemberontakan memang benar adanya sesuai dengan kehidupan. Alasan terbesarnya adalah ada makna dibalik kata. Pemaknaan juga menjadi prioritas utama sebuah karya, karena karya tersebut diterbitkan atau dibuat pasti memiliki tujuan dan maksud tertentu. Tulisan memang memberikan pengaruh yang besar terhadap peradaban suatu tempat ataupun negara. Karena dengan tulisan suatu rekaman yang dapat diwariskan kepada setiap generesai-generasi mendatang. Kita dapat melihat sebuah negara peradaban terbesar di dunia, dimana arsip-arsip ilmu pengetahuan terkumpul disana dan menjadi sumber setiap negara untuk mempelajarinya. Yunani, siapa yang tidak kenal dengan para filsuf Yunani sebut saja Aristoteles, Plato, Socrates. Mereka tumbuh di negara peradaban dimana negara tersebut telah menyusun rapih dan mendokumenkan setiap hasil karya-karya para fisafat terdahulu untuk menjadikan cika bakal ilmu pengetahuan.
Melirik dan menelisik kembali di Indonesia, bagaimana kita dapat mengetahui adanya Kerajaan Majapahit yang terkenal dengan prajurit Gajamada dimana ia memiliki cita-cita besar untuk menyatukan nusantara, bagaimana kita dapat mengenal ada sebuah kerajaan islam di sebuah tempat yang sampai sekarang masih mendapatkan julukan Serambi Mekkah dan bagaimana kita dapat mengerti bahwa Indonesia pernah menjadi pusat pembelajaran ilmu pengetahuan yang besar melalui Kerajaan Sriwijaya, yang dimana sebagai kerajaan Budha terbesar pada masa itu. Tanpa sebuah bukti, melalui karya-karya tulisan yang pernah terabadikan masa lalu. Melalui prasasti dan kitab-kitab yang tertulis ditemukan, kita dapat mengenal, mengetahui dan mengerti bahwa Indonesia memiliki sebuah peradaban sudah terbentuk sejak dahulu kala.
Karya-karya diatas terindefendesi satu sama lain dalam sebuah tulisan dan  tulisan menceritakan bagaimana proses dan perkembangannya.  Melalui sebuah tulisan masyarakat tidak buta terhadap sejarah bangsanya. Kita mengenal, tulisan saat mengenyam pendidikan dasar sekali, bahkan kita diajarkan menulis terlebih dahulu daripada membaca. Dengan tulisan segala sesuatu dapat dipahami, kita dapat mengeja, membaca, dan berbicara dengan baik. Menulis menguji setiap syaraf otak kita bergerak. Karena pada saat kita menulis, semua syaraf kita bekerja dan tidak mati, dimulai saat kita berfikir tentang ide apa yang akan kita tulis, menggerakan jari-jari kita, mengolah ingatan kita dan dituangkan kembali kedalam tulisan.
Dan pertanyaan penuh tanda tanya, bagaimana perkembangan sastra sekarang? Terutama di negeri kita, apakah ada sastrawan terkenal dan sekritis seperti Chairil Anwar dan W.S rendra? Apakah ada sastra perempuan yang melahirkan kata-kata kejujuran seperti Toeti Herarty, melalui puisi-puisi nya ia menyampaikan sebuah kejujuran sebagai seorang perempuan. Apakah ada penulis perempuan seperti Kartini dengan buku “Habislah Gelap Terbitlah Terang”?. Jawabannya adalah pikiran yang melintas di pemikiran kita.  Kita amati dunia ini, sastra mulai meredup. Hanya segelintir orang yang mengabadikan keluh kesahnya melalui tulisan. Hanya sedikt orang yang dapat membaca keluh kesahnya sendiri.
Budaya menulis telah sepi dalam kesemrawutan kampus, dan budaya membaca teleh hening dalam kebisingan suara kendaraan yang memenuhi parkiran, sampai tak ada ada lagi lahan untuk berjalan kaki karena disesaki kendaraan. Karena menulis tak lagi menjadi budaya, dan sentuhan terhadap layar yang membuat kita menunduk setiap harinya menjadi budaya baru. Belum posting foto terbaru dan belum update kata-kata bullshitdi media sosial, pasti belum kekinian. Dan karena duduk di perpustakaan, berdiam diri membaca dan menulis adalah sosok “sok pintar”.
Terdiam lirih, menanggapi setiap perubahan dan mulai menghilangkan peradaban di dunia yang serba canggih ini. Mungkin saja beberapa puluh tahun yang akan datang, kita akan kembali lagi pada masa dimana belum mengenal tulisan dan memulai kembali peradaban. Karena tiadanya sastra sebagai bukti sejarah untuk peradaban. Tiada Sastra akan lahir Tiada Tulisan dan beranak Tiada Peradaban, karena tiada peradaban menghilanglah dunia  serta kembali pada masa ketidaktahuan!


Tidak ada komentar:

Posting Komentar