TULISAN
HILANG, PERADABAN MELAYANG
Pergolakan
bahkan perdebatan seringkali terjadi dalam dunia kesusasteraan, banyak orang
tidak mengetahui bahwa sastra merupakan bagian dari sejarah yang terlupakan.
Indonesia merupakan salah satu negara yang terbilang masih bungkam akan
perkembangan sastra. Dunia sastra adalah dunia yang membutuhkan kejujuran dalam
setiap rangkaian-rangkaian kata-katanya. Menyangkut kembali relasi antara
sastra dengan sejarah bangsa, sejak Pra kemerdekaan banyak sastrawan pribumi
yang memiliki kualitas kognitif dan emosional kritis, mengkritik bangsa ini
melalui setiap bait-bait kalimat mendalamnya.
Kalimat-kalimat
sadis tersebut seperti akan membunuh setiap perlakuan, kelakuan bahkan tingkah
laku pada masanya. Teks dalam aneka tulisan tersebut melahirkan paradigma
disetiap lapisan masyarakat. Tulisan dapat mengubah segalanya, melalui karya
goresan dan pemikiran sang penyair, penulis bahkan banyak jenis dari satrawan
membuktikan kepada dunia. Dengan sastra dunia menjadi hidup. Sastra berbicara
dalam keadaan diam, namun bergerak tanpa perpindahan.
Perumpamaan
yang sangat ambigu bertumpuk-tumpuk bahkan tak masuk akal dan logika. Sastra
tidak tampak jika seseorang tidak mendalaminya, dunia sastra adalah dunia yang
penuh akan pemahaman. Apabila, kita belajar bersumber pada filsafat untuk mengetahui
dan mengkaji semua ilmu pengetahuan di muka bumi ini dalam proses mencari jati
diri dan menemukan siapa diri kita sebenarnya. Dan melalui filsafat kita akan
menemukannya, kendati dengan sastra bukan hanya kita dapat memahami diri
sendiri melainkan keadaan orang lain secara utuh kita memahaminya.
membahas
sastra sepertinya tak ayal kita akan mengenal berbagai karya seperti, novel, puisi,
sajak, cerpen dan lain-lain. Sastra berkembang dan selalu mengalami perubahan
sesuai dengan zamannya, dimana dipengaruhi oleh pemikiran yang dominan serta
dampak yang ditimbulkan kepada masyarakat pada zaman itu.
Saya
ambil contoh saja, sastrawan Indonesia angkatan 45 seperti Chairil Anwar dengan
puisi ”Aku” menceritakan keadaan dimana sosok seseorang yang terpuruk pada masa
itu, di negeri sendiri tetapi menjadi budak dengan jajahan negeri asing. Pada
angkatan 45 para sastrawan mengkisahkan segala dan mencurahkan kritisi mereka
keluh kesah dengan puisi-puisi penentang. Belum lagi, pada masa angkatan 66
dimana sekumpulan sastrawan masa ini membentuk dan menerapkan apa yang di
cita-citakan oleh Soekarno mendukukung perkembangan sastra. Puisi tentang
keadilan dan kebenaran menjadi bahan utama pada setiap ide-idenya.
Tulisan-tulisan
yang tertuang dalam karya sastrawan mendeskripsikan moral-moral bahkan
perilaku-perilaku manusia terhadap dunia. Sastra bercerita tentang sang penulis
dan mengungkapkan yang dilihat sang penulis. Jelas sekali, moral-moral yang
terjadi dapat terlihat. Tanpa sedikitpun meleset puisi-puisi pemberontakan
memang benar adanya sesuai dengan kehidupan. Alasan terbesarnya adalah ada
makna dibalik kata. Pemaknaan juga menjadi prioritas utama sebuah karya, karena
karya tersebut diterbitkan atau dibuat pasti memiliki tujuan dan maksud
tertentu. Tulisan memang memberikan pengaruh yang besar terhadap peradaban
suatu tempat ataupun negara. Karena dengan tulisan suatu rekaman yang dapat
diwariskan kepada setiap generesai-generasi mendatang. Kita dapat melihat
sebuah negara peradaban terbesar di dunia, dimana arsip-arsip ilmu pengetahuan
terkumpul disana dan menjadi sumber setiap negara untuk mempelajarinya. Yunani,
siapa yang tidak kenal dengan para filsuf Yunani sebut saja Aristoteles, Plato,
Socrates. Mereka tumbuh di negara peradaban dimana negara tersebut telah
menyusun rapih dan mendokumenkan setiap hasil karya-karya para fisafat
terdahulu untuk menjadikan cika bakal ilmu pengetahuan.
Melirik
dan menelisik kembali di Indonesia, bagaimana kita dapat mengetahui adanya
Kerajaan Majapahit yang terkenal dengan prajurit Gajamada dimana ia memiliki
cita-cita besar untuk menyatukan nusantara, bagaimana kita dapat mengenal ada
sebuah kerajaan islam di sebuah tempat yang sampai sekarang masih mendapatkan
julukan Serambi Mekkah dan bagaimana kita dapat mengerti bahwa Indonesia pernah
menjadi pusat pembelajaran ilmu pengetahuan yang besar melalui Kerajaan
Sriwijaya, yang dimana sebagai kerajaan Budha terbesar pada masa itu. Tanpa
sebuah bukti, melalui karya-karya tulisan yang pernah terabadikan masa lalu.
Melalui prasasti dan kitab-kitab yang tertulis ditemukan, kita dapat mengenal,
mengetahui dan mengerti bahwa Indonesia memiliki sebuah peradaban sudah
terbentuk sejak dahulu kala.
Karya-karya
diatas terindefendesi satu sama lain dalam sebuah tulisan dan tulisan
menceritakan bagaimana proses dan perkembangannya. Melalui sebuah tulisan
masyarakat tidak buta terhadap sejarah bangsanya. Kita mengenal, tulisan saat
mengenyam pendidikan dasar sekali, bahkan kita diajarkan menulis terlebih
dahulu daripada membaca. Dengan tulisan segala sesuatu dapat dipahami, kita
dapat mengeja, membaca, dan berbicara dengan baik. Menulis menguji setiap
syaraf otak kita bergerak. Karena pada saat kita menulis, semua syaraf kita
bekerja dan tidak mati, dimulai saat kita berfikir tentang ide apa yang akan
kita tulis, menggerakan jari-jari kita, mengolah ingatan kita dan dituangkan
kembali kedalam tulisan.
Dan
pertanyaan penuh tanda tanya, bagaimana perkembangan sastra sekarang? Terutama
di negeri kita, apakah ada sastrawan terkenal dan sekritis seperti Chairil
Anwar dan W.S rendra? Apakah ada sastra perempuan yang melahirkan kata-kata
kejujuran seperti Toeti Herarty, melalui puisi-puisi nya ia menyampaikan sebuah
kejujuran sebagai seorang perempuan. Apakah ada penulis perempuan seperti
Kartini dengan buku “Habislah Gelap Terbitlah Terang”?. Jawabannya adalah
pikiran yang melintas di pemikiran kita. Kita amati dunia ini, sastra
mulai meredup. Hanya segelintir orang yang mengabadikan keluh kesahnya melalui
tulisan. Hanya sedikt orang yang dapat membaca keluh kesahnya sendiri.
Budaya
menulis telah sepi dalam kesemrawutan kampus, dan budaya membaca teleh hening
dalam kebisingan suara kendaraan yang memenuhi parkiran, sampai tak ada ada
lagi lahan untuk berjalan kaki karena disesaki kendaraan. Karena menulis tak
lagi menjadi budaya, dan sentuhan terhadap layar yang membuat kita menunduk
setiap harinya menjadi budaya baru. Belum posting foto terbaru dan belum update
kata-kata bullshitdi media sosial, pasti belum kekinian. Dan karena duduk di
perpustakaan, berdiam diri membaca dan menulis adalah sosok “sok pintar”.
Terdiam
lirih, menanggapi setiap perubahan dan mulai menghilangkan peradaban di dunia
yang serba canggih ini. Mungkin saja beberapa puluh tahun yang akan datang,
kita akan kembali lagi pada masa dimana belum mengenal tulisan dan memulai
kembali peradaban. Karena tiadanya sastra sebagai bukti sejarah untuk
peradaban. Tiada Sastra akan lahir Tiada Tulisan dan beranak Tiada Peradaban,
karena tiada peradaban menghilanglah dunia serta kembali pada masa
ketidaktahuan!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar