Seni
dan Budaya Jadi Medium Awal
Seni
dan budaya menjadi medium awal dakwah para penyebar Islam pertama di Pulau
Jawa. Wali songo menjadikan seni dan budaya sebagai medium penyampai ajaran
Islam, saat masyarakat Jawa pada masa itu masih dipengaruhi ajaran Hindu-Budha.
Dakwah seperti ini pun berhasil.
Di
sejumlah daerah pesisir utara pulau Jawa, karakter Islam yang pada masa awal
kedatangannya si Nusantara membangun harmoni dengan adat dan budaya masyarakat
setempat terlihat jelas hingga saat ini.
Di
museum Sunan Drajat, Lamongan, Jawa Timur misalnya, dapat dijumpai berbagai
ornamen peninggalan Sunan Drajat, salah satunya adalah gamelan singo mengkok,
yang merupakan seperangkat gamelan sebagai syiar agama Islam di daerah Paciran.
Dahulu para sahabat Sunan Drajat mengiringi tembang Pangkur (Panguti Isine
Al-Qur’an) ciptaan Sunan Drajat pada abad ke-16.
Ukiran
Singo Mengkok adalah ukiran berupa wujud singa yang duduk dengan sikap
siap menerkam. Kesenian ini adalah sebuah akulturasi dari budaya Hindu Budha
dan Islam, mengingat masyarakat sekitar
adalah pemeluk agama Hindu. Agar mudah diterima masyarakat sehingga gamelan
tersebut dinamakan Singo Mengkok sebagai lambang kearifan, kelembutan,
nafsu dan kesempurnaan manusia.
Selain
itu, pada sap tangga menuju makam sitihinggil Sunan Drajat yang sebanyak tujuh
sap, konon memiliki filosofis. Sap tangga kesatu adalah memangun resep
teyasing sasomo (kita selalu membuat senang hati orang lain). Dan pada sap
kedua adalah Jroning suku kudu eling lan waspodo yang artinya dalam
suasana riang kita harus tetap ingat dan waspada. Makna filosofis sap tangga
ketiga adalah laksitaning subroto tan nyipto marang pringgo bayangin lampah,
yang berarti dalam perjalanan untuk mencapai cita-cita luhur kita tidak peduli
dengan segala bentuk rintangan. Sap keempat adalah memper harsaning
pancadriya, yang bermakna kita harus selalu menekan gelora nafsu-nafsu.
Heneng-hening-henung,
merupakan filosofi kelima yang memiliki makna bahwa dalam keadaan diam kita
akan memperoleh keheningan dan dalam keadaan hening itulah kita akan mencapai
cita-cita luhur. Sap tangga keenam berbunyi mulyo guno panca waktu, yang
artinya suatu kebahagiaan lahir batin hanya bisa kita capai dengan shalat lima
waktu. Dan sap tangga yang terakhir berbunyi menehono teken marang wong kang
wuto, menehono mangan marang wong kang luwe, menehono busono marang wong kang
wudo, lan menehono ngiyup marang wong kang kudanan. Artinya, beri ilmu agar
orang menjadi pandai, sejahterakan kehidupan masyarakat yang miskin, ajarilah
kesusilaan orang yang tidak punya malu, dan berilah perlindungan orang yang
menderita.
Harmoni
Fenomena
yang lain yang kita dapati sampai saat ini salah satunya adalah Megengan.
Yaitu tradisi masyarakat Jawa dalam menyambut bulan Ramadhan, megengan
diambil dari bahasa Jawa yang artinya menahan. Ini merupakan suatu peringatan
bahwa sebentar lagi akan memasuki bulan Ramadhan, bulan dimana umat Islam
diwajibkan berpuasa, yaitu menahan untuk tidak melakukan perbuatan-perbuatan
yang dapat menggugurkan ibadah puasa tersebut.
Adapun
kegiatannya sangat bermacam-macam sesuai dengan adat daerah setempat, tapi
umumnya masyarakat Jawa biasanya berbondong-bondong untuk berziarah kubur,
membersihkannya serta menaburi bunga diatasnya dan tidak lupa mendo’akannya
serta ada juga yang membacakan yasin dan tahlil, kemudian masak besar untuk
dibagikan kepada sanak famili. Dan pada malam harinya mengadakan selamatan atau
kenduri dengan mengundang para tetangga untuk mendo’akan keluarga yang sudah
meninggal, ada juga yang selamatan atau kendurinya diadakan bersama-sama oleh
seluruh warga setempat.
Selain
itu, peringatan Isra’ Mi’raj juga masih mendarah daging dikalangan masyarakat
sinkretis, bahkan hal ini bisa ditemui pada kampus yang bernuansa Islam, salah
satunya adalah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Tidak dipungkiri hal ini sudah
menjadi tradisi tersendiri bagi kalangan mahasiswa UIN, khususnya anak-anak
PMII, yang mana setiap tahun selalu diperingati, begitupun pada kalangan PMII
KOMFAKA, yang mana pada tanggal 27 April 2017 kemaren telah memperingati Isra’
Mi’raj Nabi Muhammad SAW Dengan tema “Merawat Tradisi & Memperkokoh
Silaturahmi”.
“Tema
tersebut sengaja diusung untuk tetap melestarikan dan upaya untuk tetap merawat
tradisi yang ada, selain itu dengan adanya acaranya Isra’ Mi’raj ini juga bisa
kembali bersilaturahmi bersama karib sahabat yang mungkin telah lama tidak
bertemu”. Tutur Hammam Al Marisma sebagai Ketua Pelaksana. Acara kala itu
dimeriahkan dengan pembacaan maulid Berjanji yang diiringi dengan musik rebana,
atau biasa disebut dengan hadroh. Juga puisi Islami yang menghiasi berjalannya
acara. “harapannya acara seperti ini tetap dilestarikan setiap tahunnya” tutur
ketua pelaksana.
HAMMAM EL-MARISMA
(Mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Arab UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar