Senin, 01 Mei 2017

Seni dan Budaya Jadi Medium Awal
Seni dan budaya menjadi medium awal dakwah para penyebar Islam pertama di Pulau Jawa. Wali songo menjadikan seni dan budaya sebagai medium penyampai ajaran Islam, saat masyarakat Jawa pada masa itu masih dipengaruhi ajaran Hindu-Budha. Dakwah seperti ini pun berhasil.
Di sejumlah daerah pesisir utara pulau Jawa, karakter Islam yang pada masa awal kedatangannya si Nusantara membangun harmoni dengan adat dan budaya masyarakat setempat terlihat jelas hingga saat ini.
Di museum Sunan Drajat, Lamongan, Jawa Timur misalnya, dapat dijumpai berbagai ornamen peninggalan Sunan Drajat, salah satunya adalah gamelan singo mengkok, yang merupakan seperangkat gamelan sebagai syiar agama Islam di daerah Paciran. Dahulu para sahabat Sunan Drajat mengiringi tembang Pangkur (Panguti Isine Al-Qur’an) ciptaan Sunan Drajat pada abad ke-16.
Ukiran Singo Mengkok adalah ukiran berupa wujud singa yang duduk dengan sikap siap menerkam. Kesenian ini adalah sebuah akulturasi dari budaya Hindu Budha dan Islam, mengingat  masyarakat sekitar adalah pemeluk agama Hindu. Agar mudah diterima masyarakat sehingga gamelan tersebut dinamakan Singo Mengkok sebagai lambang kearifan, kelembutan, nafsu dan kesempurnaan manusia.
Selain itu, pada sap tangga menuju makam sitihinggil Sunan Drajat yang sebanyak tujuh sap, konon memiliki filosofis. Sap tangga kesatu adalah memangun resep teyasing sasomo (kita selalu membuat senang hati orang lain). Dan pada sap kedua adalah Jroning suku kudu eling lan waspodo yang artinya dalam suasana riang kita harus tetap ingat dan waspada. Makna filosofis sap tangga ketiga adalah laksitaning subroto tan nyipto marang pringgo bayangin lampah, yang berarti dalam perjalanan untuk mencapai cita-cita luhur kita tidak peduli dengan segala bentuk rintangan. Sap keempat adalah memper harsaning pancadriya, yang bermakna kita harus selalu menekan gelora nafsu-nafsu.
Heneng-hening-henung, merupakan filosofi kelima yang memiliki makna bahwa dalam keadaan diam kita akan memperoleh keheningan dan dalam keadaan hening itulah kita akan mencapai cita-cita luhur. Sap tangga keenam berbunyi mulyo guno panca waktu, yang artinya suatu kebahagiaan lahir batin hanya bisa kita capai dengan shalat lima waktu. Dan sap tangga yang terakhir berbunyi menehono teken marang wong kang wuto, menehono mangan marang wong kang luwe, menehono busono marang wong kang wudo, lan menehono ngiyup marang wong kang kudanan. Artinya, beri ilmu agar orang menjadi pandai, sejahterakan kehidupan masyarakat yang miskin, ajarilah kesusilaan orang yang tidak punya malu, dan berilah perlindungan orang yang menderita.
Harmoni
Fenomena yang lain yang kita dapati sampai saat ini salah satunya adalah Megengan. Yaitu tradisi masyarakat Jawa dalam menyambut bulan Ramadhan, megengan diambil dari bahasa Jawa yang artinya menahan. Ini merupakan suatu peringatan bahwa sebentar lagi akan memasuki bulan Ramadhan, bulan dimana umat Islam diwajibkan berpuasa, yaitu menahan untuk tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat menggugurkan ibadah puasa tersebut.
Adapun kegiatannya sangat bermacam-macam sesuai dengan adat daerah setempat, tapi umumnya masyarakat Jawa biasanya berbondong-bondong untuk berziarah kubur, membersihkannya serta menaburi bunga diatasnya dan tidak lupa mendo’akannya serta ada juga yang membacakan yasin dan tahlil, kemudian masak besar untuk dibagikan kepada sanak famili. Dan pada malam harinya mengadakan selamatan atau kenduri dengan mengundang para tetangga untuk mendo’akan keluarga yang sudah meninggal, ada juga yang selamatan atau kendurinya diadakan bersama-sama oleh seluruh warga setempat.
Selain itu, peringatan Isra’ Mi’raj juga masih mendarah daging dikalangan masyarakat sinkretis, bahkan hal ini bisa ditemui pada kampus yang bernuansa Islam, salah satunya adalah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Tidak dipungkiri hal ini sudah menjadi tradisi tersendiri bagi kalangan mahasiswa UIN, khususnya anak-anak PMII, yang mana setiap tahun selalu diperingati, begitupun pada kalangan PMII KOMFAKA, yang mana pada tanggal 27 April 2017 kemaren telah memperingati Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad SAW Dengan tema “Merawat Tradisi & Memperkokoh Silaturahmi”.
“Tema tersebut sengaja diusung untuk tetap melestarikan dan upaya untuk tetap merawat tradisi yang ada, selain itu dengan adanya acaranya Isra’ Mi’raj ini juga bisa kembali bersilaturahmi bersama karib sahabat yang mungkin telah lama tidak bertemu”. Tutur Hammam Al Marisma sebagai Ketua Pelaksana. Acara kala itu dimeriahkan dengan pembacaan maulid Berjanji yang diiringi dengan musik rebana, atau biasa disebut dengan hadroh. Juga puisi Islami yang menghiasi berjalannya acara. “harapannya acara seperti ini tetap dilestarikan setiap tahunnya” tutur ketua pelaksana.


HAMMAM EL-MARISMA

(Mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Arab UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar