Kamis, 18 Mei 2017

Imperialisme Amerika Serikat di Iran

Imperialisme Amerika di Iran
Mossadegh, perdana menteri terpilih hasil pemilihan umum demokratis tahun 1951, melakukan kebijakan ekonomi radikal, yakni menasionalisasi industri minyak Iran sehingga memukul keuntungan minyak Inggris. Awalnya, Amerika Serikat melihat Mossadegh sebagai alat untuk membangun kendali lebih besar atas sumber-sumber minyak Iran dan menggasak Inggris keluar. Tetapi, Washington tampaknya terlalu percaya diri. Mossadegh ternyata menolak memberikan ijin bagi perusahaan-perusahaan minyak AS untuk melakukan eksplorasi. Sikap keras Mossadegh itu menyebabkan Amerika Serikat mengubah kebijakannya, yakni menentangnya.
Dinas intelijen luar negeri AS, CIA, lalu mengatur sebuah kudeta (yang dikenal dengan nama sandi ‘Operasi Ajax’). Untuk menggolkan agendanya, CIA bersandar sepenuhnya pada dukungan para ulama, terutama mentor dari Ayatolah Khomeini, yaitu Ayatollah Abolqassem Kashani, yang mampu memobilisasi sejumlah besar orang dari perkampungan kumuh Taheran melawam Mossadegh yang berpaham nasionalis sekuler. Khasani menerima sejumlah besar uang dari CIA dan memiliki hubungan sangat dekat dengan mereka. Ini adalah kerja dasar yang diletakkan oleh CIA dan Kashani yang kemudian membantu posisi Khomeini untuk peran yang ia jalankan pada revolusi tahun 1979.
Revolusi Iran adalah hasil dari ketidakpuasan yang mendalam dari pekerja, mahasiswa, petani, pedagang (bazaaris), melawan rejim Shah yang didukung Amerika Serikat. Kaum kiri memainkan peran dalam pemberontakan di kalangan militer dan protes-protes mahasiswa, namun mereka gagal menyediakan kepemimpinan bagi gerakan secara keseluruhan dengan berbagai alasan, termasuk diantaranya bagian yang dimainkan oleh pekerja Iran, terutama para pekerja minyak, menyediakan rangka kunci yang mengakibatkan jatuhnya Shah, namun mereka tak bisa memainkan peranan yang independen. Ini membuat Ayatollah Khomeini, selama dua tahun, bisa mengatur siasat antara beragam faksi dan mengambil alih kekuasaan untuk Partai Republik Islam.
Khomeini sebagai seorang Syiah, mampu mencapai sesuatu yang tak seorang Islam Sunni mampu melakukannya. Dia tak hanya membawa mahasiswa, kelas menengah di perkotaan, dan para pekerja sebagai pengikut, namun juga membawa bersama dua kelas yang berkecenderungan ke arah Islamisme, yakni kaum miskin kota dan pedagang, begitu juga dengan kelas menengah yang religius. Setelah berkuasa penuh, versi pandangannya terhadap Syiah Islam kemudian dipakai untuk mengislamkan masyarakat Iran, sementara semua interpretasi lain dikucilkan.
Dengan akarnya yang menghunjam dalam, republik Islam Iran kemudian mulai menantang hegemoni Saudi di dekade 1980-an. Model Iran adalah tentang Islam Kerakyatan (people’s Islam), yang konsekuensi selanjutnya adalah digunakannya kata ‘Islam’ dengan ‘revolusi’ secara bersamaan. Model Saudi, disisi lain, adalah pendekatan dari atas ke bawah berdasarkan penggunaan harta kekayaan dari minyak untuk menyebarkan Islamisme, yang dikontrol dan dikelola secara ketat dari atas, terutama pada elemen-elemen radikal yang condong mengganggu status quo. Dua strategi yang saling bersaing ini adalah tawaran kepada islamis di seputar wilayah tersebut. Ketika Iran menunjukkan kesan tentang Syiah yang moderat untuk menarik para intelektual muda islamis, Saudi Arabia justru menitikberatkan pada Syiah Iran dan bahkan mencela revolusi 1979 sebagai kendaraan untuk nasionalisme Persia.
Namun demikian, walaupun konflik ini tak kunjung mereda, banyak Islamis baik dari sekte Sunni maupun Syiah, yang terinspirasi dengan revolusi Iran. Mereka melihat Iran menawarkan model untuk menggulingkan pemimpin pro Barat dan menciptakan sebuah negara Islam. Bagi mereka, Revolusi Iran sejenis dengan Revolusi Prancis atau Revolusi Bolshevik. Sebagaimana dikatakan oleh satu Islamis dari tradisi Sunni, “Dengan menjatuhkan Shah Iran dalam waktu singkat, Khoemeini telah membangkitkan semangat juang kami... Dia juga memobilisasi pemuda Arab nasionalis yang tadinya skeptis mengenai kemungkinan membangun kembali kekhalifahan di abad ke-21.”[1]
Jika Revolusi Iran dilihat sebagai inspirasi, tidak hanya oleh Islamis arab namun juga oleh kaum nasionalis, ini bukanlah bagian kecil dari kelemahan internal dari nasionalisme Arab. Saat Amerika Serikat memainkan peran penting dalam menghalangi nasionalisme sekuler dan menggagalkan kaum kiri di Iran dan negara lainnya, kelemahan internal nasionalisme sekuler, sama dengan beragam partai-partai kiri, juga memainkan peranannya.
Namun demikian, sebuah catatan final tentang dampak dari intervensi imperial yang berkelanjutan harus diberikan. Meski kolonialisme formal telah berakhir, Barat terus melanjutkan dominasinya pada Timur Tengah dan negara lainnya melalui pemimpin-pemimpin lokal yang mudah dipengaruhi. Dari Mesir hingga monarki-monarki Teluk, ke Afghanistan dan Irak, Amerika Serikat terus menancapkan kontrolnya terhadap negara-negara yang memproduksi atau menjadi rumah bagi lalu-lintas minyak, melalui aliansinya dengan para pemimpin korup yang tidak bertanggung jawab pada rakyatnya. dinamika ini, begitu pula dengan dukungan Amerika Serikat untuk Israel, pada akhirnya meletupkan sentimen anti imperialis. Pada saat bersamaan, karena kekuatan kiri sangat lemah, para Islamis mampu mengambil keuntungan politik dari sentimen anti imperialis ini.



[1] Di cuplik di Ibid., 84.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar