Imperialisme
Amerika di Iran
Mossadegh,
perdana menteri terpilih hasil pemilihan umum demokratis tahun 1951, melakukan
kebijakan ekonomi radikal, yakni menasionalisasi industri minyak Iran sehingga
memukul keuntungan minyak Inggris. Awalnya, Amerika Serikat melihat Mossadegh
sebagai alat untuk membangun kendali lebih besar atas sumber-sumber minyak Iran
dan menggasak Inggris keluar. Tetapi, Washington tampaknya terlalu percaya
diri. Mossadegh ternyata menolak memberikan ijin bagi perusahaan-perusahaan
minyak AS untuk melakukan eksplorasi. Sikap keras Mossadegh itu menyebabkan
Amerika Serikat mengubah kebijakannya, yakni menentangnya.
Dinas
intelijen luar negeri AS, CIA, lalu mengatur sebuah kudeta (yang dikenal dengan
nama sandi ‘Operasi Ajax’). Untuk menggolkan agendanya, CIA bersandar
sepenuhnya pada dukungan para ulama, terutama mentor dari Ayatolah Khomeini,
yaitu Ayatollah Abolqassem Kashani, yang mampu memobilisasi sejumlah besar
orang dari perkampungan kumuh Taheran melawam Mossadegh yang berpaham
nasionalis sekuler. Khasani menerima sejumlah besar uang dari CIA dan memiliki
hubungan sangat dekat dengan mereka. Ini adalah kerja dasar yang diletakkan
oleh CIA dan Kashani yang kemudian membantu posisi Khomeini untuk peran yang ia
jalankan pada revolusi tahun 1979.
Revolusi
Iran adalah hasil dari ketidakpuasan yang mendalam dari pekerja, mahasiswa,
petani, pedagang (bazaaris), melawan rejim Shah yang didukung Amerika
Serikat. Kaum kiri memainkan peran dalam pemberontakan di kalangan militer dan
protes-protes mahasiswa, namun mereka gagal menyediakan kepemimpinan bagi
gerakan secara keseluruhan dengan berbagai alasan, termasuk diantaranya bagian
yang dimainkan oleh pekerja Iran, terutama para pekerja minyak, menyediakan
rangka kunci yang mengakibatkan jatuhnya Shah, namun mereka tak bisa memainkan
peranan yang independen. Ini membuat Ayatollah Khomeini, selama dua tahun, bisa
mengatur siasat antara beragam faksi dan mengambil alih kekuasaan untuk Partai
Republik Islam.
Khomeini
sebagai seorang Syiah, mampu mencapai sesuatu yang tak seorang Islam Sunni
mampu melakukannya. Dia tak hanya membawa mahasiswa, kelas menengah di
perkotaan, dan para pekerja sebagai pengikut, namun juga membawa bersama dua
kelas yang berkecenderungan ke arah Islamisme, yakni kaum miskin kota dan
pedagang, begitu juga dengan kelas menengah yang religius. Setelah berkuasa
penuh, versi pandangannya terhadap Syiah Islam kemudian dipakai untuk
mengislamkan masyarakat Iran, sementara semua interpretasi lain dikucilkan.
Dengan
akarnya yang menghunjam dalam, republik Islam Iran kemudian mulai menantang
hegemoni Saudi di dekade 1980-an. Model Iran adalah tentang Islam Kerakyatan (people’s
Islam), yang konsekuensi selanjutnya adalah digunakannya kata ‘Islam’
dengan ‘revolusi’ secara bersamaan. Model Saudi, disisi lain, adalah pendekatan
dari atas ke bawah berdasarkan penggunaan harta kekayaan dari minyak untuk
menyebarkan Islamisme, yang dikontrol dan dikelola secara ketat dari atas,
terutama pada elemen-elemen radikal yang condong mengganggu status quo. Dua
strategi yang saling bersaing ini adalah tawaran kepada islamis di seputar
wilayah tersebut. Ketika Iran menunjukkan kesan tentang Syiah yang moderat
untuk menarik para intelektual muda islamis, Saudi Arabia justru menitikberatkan
pada Syiah Iran dan bahkan mencela revolusi 1979 sebagai kendaraan untuk
nasionalisme Persia.
Namun
demikian, walaupun konflik ini tak kunjung mereda, banyak Islamis baik dari
sekte Sunni maupun Syiah, yang terinspirasi dengan revolusi Iran. Mereka melihat
Iran menawarkan model untuk menggulingkan pemimpin pro Barat dan menciptakan
sebuah negara Islam. Bagi mereka, Revolusi Iran sejenis dengan Revolusi Prancis
atau Revolusi Bolshevik. Sebagaimana dikatakan oleh satu Islamis dari tradisi
Sunni, “Dengan menjatuhkan Shah Iran dalam waktu singkat, Khoemeini telah
membangkitkan semangat juang kami... Dia juga memobilisasi pemuda Arab
nasionalis yang tadinya skeptis mengenai kemungkinan membangun kembali kekhalifahan
di abad ke-21.”[1]
Jika
Revolusi Iran dilihat sebagai inspirasi, tidak hanya oleh Islamis arab namun
juga oleh kaum nasionalis, ini bukanlah bagian kecil dari kelemahan internal
dari nasionalisme Arab. Saat Amerika Serikat memainkan peran penting dalam
menghalangi nasionalisme sekuler dan menggagalkan kaum kiri di Iran dan negara
lainnya, kelemahan internal nasionalisme sekuler, sama dengan beragam partai-partai
kiri, juga memainkan peranannya.
Namun
demikian, sebuah catatan final tentang dampak dari intervensi imperial yang
berkelanjutan harus diberikan. Meski kolonialisme formal telah berakhir, Barat
terus melanjutkan dominasinya pada Timur Tengah dan negara lainnya melalui
pemimpin-pemimpin lokal yang mudah dipengaruhi. Dari Mesir hingga
monarki-monarki Teluk, ke Afghanistan dan Irak, Amerika Serikat terus
menancapkan kontrolnya terhadap negara-negara yang memproduksi atau menjadi
rumah bagi lalu-lintas minyak, melalui aliansinya dengan para pemimpin korup
yang tidak bertanggung jawab pada rakyatnya. dinamika ini, begitu pula dengan
dukungan Amerika Serikat untuk Israel, pada akhirnya meletupkan sentimen anti
imperialis. Pada saat bersamaan, karena kekuatan kiri sangat lemah, para
Islamis mampu mengambil keuntungan politik dari sentimen anti imperialis ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar