Jumat, 12 Mei 2017

Kegagalan Islam Revivalis
Ketika reaksi para pemimpin masyarakat terhadap kolonialisme itu mengarah pada modernisasi dan sekularisasi, lainnya beralih pada dasar-dasar Islam yakni Al qur’an, kehidupan Rasulullah dan pengikutnya, komunitas Islam awal, untuk menawarkan solusi dan sebuah model bagi reformasi Islamis. Mereka yang membangkitkan kembali nilai-nilai Islam (kaum revivalis), melihat kolonialisme dan imperialisme Eropa, terutama akhir abad ke 19 dan awal abad 20. Ketika kekuatan Eropa mulai menunjukkan ekspansi yang serius ke Afrika, Asia dan Timur Tengah sebagai ancaman utama bagi kemurnian identitas relijius dan politik Muslim. Para pemimpin Islam revivalis ini adalah para individu dari kelas menengah yang saleh, yang mencari cara untuk membatasi kendali dan otoritas yang pernah dipunyai ulama terhadap teks-teks Islam dan bersikukuh pada hak interpretasi individu (ijtihad) dari teks-teks Al Qur’an dan Sunnah Rasul.
Para tokoh kunci dari aliran baru ini adalah Jamal al-Din al-afghani, Muhammad Abduh dan Rashid Rida. Mereka bertiga secara bersama-sama menaruh dasar-dasar pemikiran Salafiyah. pada intinya, kaum salafi (Salafis) ini mendakwahkan ajaran untuk kembali pada tradisi komunitas relijius asli di masa-masa Nabi Muhammad (Salaf). Namun, bahkan dalam tahap kebangkitan Islam yang seperti ini, pemikiran Salafi sedikit sekali bicara tentang negara melampaui perannya dalam menerapkan Syariah. Tak ada keberatan atau kutukan terhadap pemerintahan-pemerintahan Muslim dan karenanya tak ada yang bergerak untuk menumbangkan pemerintahan ini. Sebuah perubahan yang di dalam salafisme bakal terjadi setelah abad ke duapuluh.
Terinspirasi dari tulisan Rashid Rida, Hassan al-Banna mendirikan Persaudaraan Muslim (Muslim Brotherhood) di Mesir pada 1928. Pada waktu yang sama, Sayyid Abul Ala Maududi menerbitkan doktrin Islamnya di bagian benua India. Maududi terispirasi dari al-Banna dan kemudian mendirikan Jama’ah Al Islamiyah di tahun 1941. Kedua organisasi tersebut terlibat dalam perjuangan pembebasan nasional, namun menolak masionalisme sekuler. Maududi menuntut pembentukan negara Islam di seluruh India berdasarkan hukum Syariah. Mirip dengan itu, Persaudaraan Muslim menolak tuntutan kaum nasionalis Mesir, yang menuntut diakhirinya peraturan atau hukum Inggris dan pembentukan negara modern di dalam undang-undang. Persaudaraan Muslim berpendapat, mereka tak perlu berkiblat pada model Barat untuk membangun masyarakat; sebaliknya mereka memenangkan slogan yang masih dipakai sampai sekarang “Al Qur’an adalah undang-undang kita”. Pendiri Persaudaraan Mesir kemudian membangun cabang-cabang di beberapa negara, seperti Lebanon, Yordania, Palestina dan Sudan.
Meski demikian, semua gerakan Islam revivalis dan kelompok-kelompok yang dibahas di atas adalah para pemain minor dalam lapangan politik di abad ke-19 dan awal pertengahan abad ke-20. Kecenderungan dominan di Timur Tengah dan Afrika Selatan pada periode ini, seperti yang telah dibahas di atas, bergerak ke arah sekularisme dan modernisasi. Sehingga, walaupun dengan segala usahanya, ‘bapak’ dari pemikiran Islamis modern, al-Afghani, gagal membangun persekutuan seluruh Islam (Pan-Islamisme). Sementara kalangan nasionalis sekuler di India dan Mesir mendapatkan dukungan mayoritas dari warganya, kalangan Islamis sebaliknya menempati posisi pinggiran.
Setelah Perang Dunia II, sebuah generasi dari nasionalis sekuler radikal yang anti-kolonial mengambilalih posisi dari para pendahulunya. Generasi sebelumnya dipandang telah gagal mengakhiri kolonisasi, dan situasi kolonial telah menjadi sesuatu yang tak tertahankan bagi sebagian besar masyarakat. Meskipun pada 1945 banyak negara-negara Timur Tengah dan Afrika Selatan yang diberikan kemerdekaan secara formal, pada kenyataannya mereka tidak bebeas. Uni Emirat Arab (The league of Arab States) dibentuk pada 1945, terdiri atas negara-negara yang harusnya merdeka: Mesir, Syria, Irak, Yaman, Lebanon, Trans Yordania, dan Saudi Arabia. Namun kenyataannya mereka berada di bawah kepemimpinan Inggris. Mayoritas penduduknya kecewa dengan kepemimpinan mereka. Kelas atas dan menengah yang pro Barat, dianggap tak mampu membawa perubahan internal. Sementara para tuan tanah aristokrat diremehkan karena kolusinya dengan kekuatan penjajah dan tanpa malu-malu mendahulukan kepentingan dirinya sendiri.
Kekalahan Palestina pada 1948 dan gagalnya negara-negara Arab menghentikan pembentukan negara Israel, makin memperburuk keadaan. Hasilnya, ketidakpuasan yang meluas ditambah tekanan dari pihak kiri yang dilakukan oleh berbagai partai Komunis di wilayah mereka, telah memaksa gerakan nasionalis menjadi lebih radikal. Pada fase baru ini, kita melihat munculnya nasionalisme Arab radikal di Timur Tengah, dengan para pemimpin kuncinya seperti Gamal Abdul Nasser dari Mesir, yang menyebut diri mereka dan program-programnya sebagai “sosialisme Arab”.
Nasionalisme Sekuler Radikal
Setelah perang usai, nasionalisme sekuler radikal merupakan filosofi politik yang dominan di negara-negara terjajah, dari Indonesia sampai Aljazair. Mengabaikan kenyataan ini, beberapa komentator Barat menegaskan bahwa orang-orang di negara-negara Muslim, yang mereka anggap sangat berurat akar pada keyakinan agamanya, nakal menolak ideologi politik seperti nasionalisme dan komunisme. Mereka sungguh keliru.
Seperti dikemkakan John Esposito, nasionalisme ‘tidak terartikulasikan secara signifikan dalam istilah Islam’. Ini terutama benar dalam periode setelah Perang Dunia II, dimana sebagian besar ideologi berlawanan dan reformasi radikal dibentuk oleh perspektif demokratik Barat, sosialis, dan Marxis. Walter Laqueur yang menulis pada 1956 tentang dominasi komunis dan nasionalisme di Timur Tengah, dengan sangat meyakinkan menantang apa yang disebut sebagai tesis pertahanan Islam/bulwark of Islam, dan menyatakan bahwa apa yang terjadi adalah Islam perlahan-lahan berhenti menjadi kompetitor serius bagi komunisme dalam perjuangannya untuk jiwa-jiwa kemasakinian dan elit-elit potensial di Timur Tengah. Jika hal itu benar untuk komunisme, maka makin benar pula untuk nasionalisme. Komunisme dan nasionalisme ekstrim, kata Laqueur, adalah dua kekuatan utama diantara para akademisi muda di negara-negara Arab. Kekuatan ini kemudian memimpin perjuangan pembebasan nasional yang sukses dan mempromosikan reformasi sekuler, diantara tindakan-tindakan lain, pada masyarakat mereka.
Sebagai contoh, presiden Mesir Gamal Abdel Nasser memperkenalkan bermacam-macam reformasi ekonomi, sosial dan politik di bawah bendera sosialisme Arab. Melalui tindakan-tindakan ini, Nasser sanggup memadamkan pengaruh badan keagamaan dan mencegah mereka mencampuri urusan negara (dimana tindakan lainnya adalah memenjarakan dan mengusir Persaudaraan Muslim). Dari kebijakan Nasser ini, kita bisa melihat terjadi sebuah pemisahan yang tegas antara agama dan politik. Meski Nasser memberikan pernyataan bahwa beberapa ajaran Islam konsisten dengan pandangannya tentang sosialisme, ideologi Nasserist ini adalah sekuler sampai ke akar-akarnya. Hanya karena kejatuhan dan kekalahan nasionalisme sekuler diakhir tahun 1960an dan awal 1970anlah, lalu terbuka ruang bagi kebangkitan Islam Politik.
Untuk meringkasnya, bisa dikatakan bahwa tidak ada hubungan langsung antara Islam di abad ke-7 dengan kebangkitan kelompok Islamis di bagian akhir pada abad ke-20. Kita menggarisbawahi pemisahan de facto yang mengambil posisi di dalam Islam, antara bidang religius dan politik dan doktrin paling senyap yang mendorong sebuah penghindaran atas kekuatan politik. Sebagai tambahan, tradisi sekulerisme dan modernisasi sangat dominan, setidaknya dua abad, di berbagai wilayah yang mayoritas penduduknya Muslim; dari reformasi modernisasi yang dilembagakan oleh berbagai monarki Muslim, lalu menyusul perubahan-perubahan lebih jauh yang dilakukan oleh kepemimpinan nasionalis sekuler setelah perjuangan anti kolonial yang sukses. Islam Politik, oleh karenanya, lebih baik dipahami sebagai hasil dari perkembangan ekonomi dan politik belakangan ini. Perkembangan yang lebih jauh lagi, telah mendorong kebangkitan gerakan-gerakan keagamaan di masyarakat lainnya.



HAMMAM EL-MARISMA
(Mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Arab UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar