Kegagalan
Islam Revivalis
Ketika
reaksi para pemimpin masyarakat terhadap kolonialisme itu mengarah pada
modernisasi dan sekularisasi, lainnya beralih pada dasar-dasar Islam yakni Al
qur’an, kehidupan Rasulullah dan pengikutnya, komunitas Islam awal, untuk
menawarkan solusi dan sebuah model bagi reformasi Islamis. Mereka yang
membangkitkan kembali nilai-nilai Islam (kaum revivalis), melihat kolonialisme
dan imperialisme Eropa, terutama akhir abad ke 19 dan awal abad 20. Ketika kekuatan
Eropa mulai menunjukkan ekspansi yang serius ke Afrika, Asia dan Timur Tengah
sebagai ancaman utama bagi kemurnian identitas relijius dan politik Muslim. Para
pemimpin Islam revivalis ini adalah para individu dari kelas menengah yang
saleh, yang mencari cara untuk membatasi kendali dan otoritas yang pernah
dipunyai ulama terhadap teks-teks Islam dan bersikukuh pada hak interpretasi
individu (ijtihad) dari teks-teks Al Qur’an dan Sunnah Rasul.
Para
tokoh kunci dari aliran baru ini adalah Jamal al-Din al-afghani, Muhammad Abduh
dan Rashid Rida. Mereka bertiga secara bersama-sama menaruh dasar-dasar
pemikiran Salafiyah. pada intinya, kaum salafi (Salafis) ini mendakwahkan
ajaran untuk kembali pada tradisi komunitas relijius asli di masa-masa Nabi Muhammad
(Salaf). Namun, bahkan dalam tahap kebangkitan Islam yang seperti ini,
pemikiran Salafi sedikit sekali bicara tentang negara melampaui perannya dalam
menerapkan Syariah. Tak ada keberatan atau kutukan terhadap pemerintahan-pemerintahan
Muslim dan karenanya tak ada yang bergerak untuk menumbangkan pemerintahan ini.
Sebuah perubahan yang di dalam salafisme bakal terjadi setelah abad ke
duapuluh.
Terinspirasi
dari tulisan Rashid Rida, Hassan al-Banna mendirikan Persaudaraan Muslim (Muslim
Brotherhood) di Mesir pada 1928. Pada waktu yang sama, Sayyid Abul Ala
Maududi menerbitkan doktrin Islamnya di bagian benua India. Maududi terispirasi
dari al-Banna dan kemudian mendirikan Jama’ah Al Islamiyah di tahun 1941. Kedua
organisasi tersebut terlibat dalam perjuangan pembebasan nasional, namun
menolak masionalisme sekuler. Maududi menuntut pembentukan negara Islam di
seluruh India berdasarkan hukum Syariah. Mirip dengan itu, Persaudaraan Muslim
menolak tuntutan kaum nasionalis Mesir, yang menuntut diakhirinya peraturan
atau hukum Inggris dan pembentukan negara modern di dalam undang-undang. Persaudaraan
Muslim berpendapat, mereka tak perlu berkiblat pada model Barat untuk membangun
masyarakat; sebaliknya mereka memenangkan slogan yang masih dipakai sampai
sekarang “Al Qur’an adalah undang-undang kita”. Pendiri Persaudaraan Mesir
kemudian membangun cabang-cabang di beberapa negara, seperti Lebanon, Yordania,
Palestina dan Sudan.
Meski
demikian, semua gerakan Islam revivalis dan kelompok-kelompok yang dibahas di atas
adalah para pemain minor dalam lapangan politik di abad ke-19 dan awal
pertengahan abad ke-20. Kecenderungan dominan di Timur Tengah dan Afrika
Selatan pada periode ini, seperti yang telah dibahas di atas, bergerak ke arah
sekularisme dan modernisasi. Sehingga, walaupun dengan segala usahanya, ‘bapak’
dari pemikiran Islamis modern, al-Afghani, gagal membangun persekutuan seluruh
Islam (Pan-Islamisme). Sementara kalangan nasionalis sekuler di India dan Mesir
mendapatkan dukungan mayoritas dari warganya, kalangan Islamis sebaliknya
menempati posisi pinggiran.
Setelah
Perang Dunia II, sebuah generasi dari nasionalis sekuler radikal yang
anti-kolonial mengambilalih posisi dari para pendahulunya. Generasi sebelumnya
dipandang telah gagal mengakhiri kolonisasi, dan situasi kolonial telah menjadi
sesuatu yang tak tertahankan bagi sebagian besar masyarakat. Meskipun pada 1945
banyak negara-negara Timur Tengah dan Afrika Selatan yang diberikan kemerdekaan
secara formal, pada kenyataannya mereka tidak bebeas. Uni Emirat Arab (The
league of Arab States) dibentuk pada 1945, terdiri atas negara-negara yang
harusnya merdeka: Mesir, Syria, Irak, Yaman, Lebanon, Trans Yordania, dan Saudi
Arabia. Namun kenyataannya mereka berada di bawah kepemimpinan Inggris. Mayoritas
penduduknya kecewa dengan kepemimpinan mereka. Kelas atas dan menengah yang pro
Barat, dianggap tak mampu membawa perubahan internal. Sementara para tuan tanah
aristokrat diremehkan karena kolusinya dengan kekuatan penjajah dan tanpa
malu-malu mendahulukan kepentingan dirinya sendiri.
Kekalahan
Palestina pada 1948 dan gagalnya negara-negara Arab menghentikan pembentukan
negara Israel, makin memperburuk keadaan. Hasilnya, ketidakpuasan yang meluas
ditambah tekanan dari pihak kiri yang dilakukan oleh berbagai partai Komunis di
wilayah mereka, telah memaksa gerakan nasionalis menjadi lebih radikal. Pada fase
baru ini, kita melihat munculnya nasionalisme Arab radikal di Timur Tengah,
dengan para pemimpin kuncinya seperti Gamal Abdul Nasser dari Mesir, yang
menyebut diri mereka dan program-programnya sebagai “sosialisme Arab”.
Nasionalisme
Sekuler Radikal
Setelah
perang usai, nasionalisme sekuler radikal merupakan filosofi politik yang
dominan di negara-negara terjajah, dari Indonesia sampai Aljazair. Mengabaikan kenyataan
ini, beberapa komentator Barat menegaskan bahwa orang-orang di negara-negara
Muslim, yang mereka anggap sangat berurat akar pada keyakinan agamanya, nakal
menolak ideologi politik seperti nasionalisme dan komunisme. Mereka sungguh
keliru.
Seperti
dikemkakan John Esposito, nasionalisme ‘tidak terartikulasikan secara
signifikan dalam istilah Islam’. Ini terutama benar dalam periode setelah
Perang Dunia II, dimana sebagian besar ideologi berlawanan dan reformasi
radikal dibentuk oleh perspektif demokratik Barat, sosialis, dan Marxis. Walter
Laqueur yang menulis pada 1956 tentang dominasi komunis dan nasionalisme di
Timur Tengah, dengan sangat meyakinkan menantang apa yang disebut sebagai tesis
pertahanan Islam/bulwark of Islam, dan menyatakan bahwa apa yang terjadi
adalah Islam perlahan-lahan berhenti menjadi kompetitor serius bagi komunisme
dalam perjuangannya untuk jiwa-jiwa kemasakinian dan elit-elit potensial
di Timur Tengah. Jika hal itu benar untuk komunisme, maka makin benar pula
untuk nasionalisme. Komunisme dan nasionalisme ekstrim, kata Laqueur, adalah
dua kekuatan utama diantara para akademisi muda di negara-negara Arab. Kekuatan
ini kemudian memimpin perjuangan pembebasan nasional yang sukses dan
mempromosikan reformasi sekuler, diantara tindakan-tindakan lain, pada
masyarakat mereka.
Sebagai
contoh, presiden Mesir Gamal Abdel Nasser memperkenalkan bermacam-macam
reformasi ekonomi, sosial dan politik di bawah bendera sosialisme Arab. Melalui
tindakan-tindakan ini, Nasser sanggup memadamkan pengaruh badan keagamaan dan
mencegah mereka mencampuri urusan negara (dimana tindakan lainnya adalah
memenjarakan dan mengusir Persaudaraan Muslim). Dari kebijakan Nasser ini, kita
bisa melihat terjadi sebuah pemisahan yang tegas antara agama dan politik. Meski
Nasser memberikan pernyataan bahwa beberapa ajaran Islam konsisten dengan
pandangannya tentang sosialisme, ideologi Nasserist ini adalah sekuler sampai
ke akar-akarnya. Hanya karena kejatuhan dan kekalahan nasionalisme sekuler
diakhir tahun 1960an dan awal 1970anlah, lalu terbuka ruang bagi kebangkitan
Islam Politik.
Untuk
meringkasnya, bisa dikatakan bahwa tidak ada hubungan langsung antara Islam di
abad ke-7 dengan kebangkitan kelompok Islamis di bagian akhir pada abad ke-20. Kita
menggarisbawahi pemisahan de facto yang mengambil posisi di dalam Islam,
antara bidang religius dan politik dan doktrin paling senyap yang mendorong
sebuah penghindaran atas kekuatan politik. Sebagai tambahan, tradisi
sekulerisme dan modernisasi sangat dominan, setidaknya dua abad, di berbagai
wilayah yang mayoritas penduduknya Muslim; dari reformasi modernisasi yang
dilembagakan oleh berbagai monarki Muslim, lalu menyusul perubahan-perubahan
lebih jauh yang dilakukan oleh kepemimpinan nasionalis sekuler setelah
perjuangan anti kolonial yang sukses. Islam Politik, oleh karenanya, lebih baik
dipahami sebagai hasil dari perkembangan ekonomi dan politik belakangan ini. Perkembangan
yang lebih jauh lagi, telah mendorong kebangkitan gerakan-gerakan keagamaan di
masyarakat lainnya.
HAMMAM EL-MARISMA
(Mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Arab UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar