Senin, 26 Desember 2016

kritik sastra Arab klasik

KRITIK SASTRA ARAB KLASIK

SEJARAH
Dalam sejarah kritik sastra Arab, kritik sastra telah muncul sejak masa Jahiliyah (pra-Islam), khususnya dalam moment Pasar Raya Ukaz yang tidak saja berfungsi sebagai pasar material, tetapi juga sastra dan budaya yang melahirkan karya sastra al-mu’allaqat (karya sastra monumental yang digantung di dinding Ka’bah).
Pada masa awal Islam, Nabi sendiri bahkan pernah melakukan kritik terhadap syair-syair haja’ (ejekan) yang diungkapkan Hasan bin Tsabit, Ka’ab bin Malik, dan Abdullah bin Rawahah, ketika mereka melawan syair haja’ kaum Quraisy. Sabdanya, syair dua penyair yang disebut terakhir cukup baik dan yang paling baik adalah syair Hassan, karena penguasaannya terhadap peristiwa-peristiwa sejarah Arab, pada masa selanjutnya, Umar, pernah memuji Zuhair Abi Sulma sebagai penyair terbaik karena syair-syairnya yang tidak ada pengulangan kata, tidak menggunakan kata asing, dan syair pujiannya yang berdasarkan kenyataan orang yang di puji.
Pada Abad ke-2 H (sekitar abad ke-8 M), periode ini merupakan periode tadwin (koodifikasi) terhadap syair-syair sebelumnya yang berserakan dalam hafalan orang-orang Arab. Buku kodikasi syair al-Usmu’i dinilai para ahli yang paling memiliki akurasi sastra Arab Jahiliyah karena ketelitiannya. Periode ini agaknya berbeda dengan periode sebelumnya, karena periode ini merupakan periode dimulainya tradisi tulis dalam kritik sastra Arab. Pada abad berikutnya (ke-3 H), kritik sastra mengalami perkembangan ketika muncul kritikus seperti Ibnu Qutaibah, kritik sastra pada masa ini mengandalkan ukuran kritik ketepatan kaidah, orisinalitas (plagiat atau bukan), gaya bahasa yang solid (baik), ukuran maknanya yang baik, dan menggunakan metode perbandingan.  Bahkan, kata naqd atau kritik sendiri pertama kali digunakan untuk sastra pada abad ini. Sebab itu, abad ini membawa abad berikutnya (abad ke-4 H) mengalami masa matang. Pada periode ini, definisi dan unsur-unsur syair dan orasi menjadi lebih jelas, munculnya kajian terhadap struktur puisi dan estetika sastra, menguatnya ukuran orsinalitas dalam kritik, dan lahirnya metode badi’. Bahkan metode perbandingan yang telah muncul sejak abad ke-2 H menjadi sangat detail seperti perbandingan antara Abu Tamam dan al-Buhturi. Diantara kritikus masa ini adalah Hasan bin Basyar al-Amidi dan Qudamah bin Ja’far.
Periode berikutnya (abad ke-5) adalah periode emas dimana kritik sastra Arab banyak memusatkan perhatiannya pada kemukjizatan puitika Al-Qur’an dan aspek estetika bayan. Diantara kritikus yang lahir pada masa ini adalah Ibnu Rasiq al-Qairawani dan ‘Abdullah al-Qahir al-Jurjani yang menguasai teori sastra Plato dan Aristoteles.
Sejak abad ke-6 H hingga masa modern (masa persentuhandunia Arab dengan kolonialisme Barat yang terjadi pada abad ke-13 H atau abad ke-19 M), kritik sastra mengalami kemandekan. Meskipun demikian, pada periode yang panjang ini sejarah kritik sastra Arab mengenal beberapa tokoh kritikus sastra.
Yang harus menjadi catatan untuk sejarah kritik sastra Arab klasik dan pertengahan ini adalah bahwa sepanjang sejarah kritik sastra pada dua kategorisasi masa besar ini, perhatian terhadap syair mendapatkan porsi jauh lebih besar ketimbang porsi prosa, karena kultur kritik sastra Arab pra-modern adalah kultur syair bukan prosa.

METODE
Pada masa klasik terdapat banyak metode kritik sastra Arab, diantaranya:
Pertama, metode kritik linguistik, yang di bawah oleh Abdul al-Qahir al-Jurjani yang tidak saja mementingkan interaksi dengan kata, tetapi juga struktur kalimat. Menurut para ahli unsur-unsur linguistik yang ada dalam sastra merupakan media pertama yang membawa seorang kritikus mampu menganalisis sastra dengan baik. Namun, bukan berarti metode ini tidak mementingkan makna atau hubungan instrinsik makna, karena bagi mereka bahasa bagaikan tradisi lainnya yang berkembang dan didirikan diatas kesepakatan yang bersifat sinkronis, yang bila terjadi perubahan dalam tradisi, perubahan makna pun terjadi.
Kedua, metode klasik yang mementingkan pengkajian terhadap bagian-bagian kata dan makna, Wazan atau Bahr (prosodi gaya lama) dalam syair, dan penguasaan khazanah sastra Arab.
Ketiga, metode estetik, metode ini lebih mementingkan bentuk sastra, karena kekuatan dan tujuan penciptaan syair adalah keindahan bentuknya. Tidak ada hubungan bagi kalangan ini, antara syair dengan kebenaran dan kebaikan spiritual. Sisi yang dipertimbangkan dalam penciptaan syair adalah rasa, karena yang digugah dalam karya sastra yang menggunakan bahasa sebagai media adalah intuisi pembaca.
Keempat, metode psikoanalisis, metode ini lebih menekankan pada unsur psokologis yang terdapat dalam suatu karya sastra yang tersembunyi dari sastrawan dalam menjelaskan karya sastranya. Metode ini juga bertolak dari asumsi bahwa karya sastra selalu membahas tentang peristiwa kehidupan manusia.melainkan manusia senantiasa memperhatikan perilaku yang beragam, sehingga bila kita ingin memahami manusia lebih dalam maka kita membutuhkan pemahaman tentang psikologi.
Kelima, metode aliran (ideologis), metode ini lebih mementingkan unsur-unsur ideologi dari sastrawan yang terdapat dalam karya sastranya. Sudut pandang metode ideologis ini berdasarkan dari system kepercayaan, nilai-nilai, dan kategori-kategori yang menjadi acuan bagi seseorang atau golongan dalam memahami dunia. Dengan kata lain, bila kita berbicara mengenai sudut pandang berlatar ideologis dalam teks naratif, kita mengartikannya sebagai seperangkat nilai atau kepercayaan yang dikomunikasikan lewat bahasa teks. Isi atau muatan ideologi ini merupakan suatu persoalan yang harus diidentifikasi melalui bahasa teks.

KRITIKUS SASTRA
Beberapa tokoh kritikus sastra pada masa klasik diantaranya:
a.       Al-Nabigah al-Zibyani, mengkritik Hassan bin Tsabit dalam sebuah syairnya.
b.      Ibnu Qutaibah, menulis al-Syi’r wa al-syu’ara.
c.       Al-Jahizh, menulis al-Bayan wa al-Tabyin.
d.      Hasan bin Basyar al-Amidi, menulis al-Muwazanah baina Abi Tamam wa al-Buhturi.
e.       Qudamah bin Ja’far, menulis Naqd al-syu’ara.
f.        Ibnu Rasyiq al-Qairawani, menulis al-Umdah fi Mahasin al-Syi’ri wa adabihi wa Naqdihi.
g.       ‘Abdul al-Qahir al-Jurjani, menulis dalail al-i’jaz wa Asrar al-Balaghah.
h.      Ibnu al-Asir, menulis al-Misl al-Sa’ir.

i.         Ibnu Sina al-Malik, menulis kaidah jenis sastra muwasysyah dalam bukunya Dar al-Tiraz.

Minggu, 25 Desember 2016

Kritik sastra arab modern

KRITIK SASTRA ARAB MODERN
Sejarah
Sastra modern mengalami pembaruan dan bangkit kembali setelah perang dunia pertama, banyak faktor seputar perluasan pendapat pembaruan pada sastra dan syi’ir, dan golongan revolusi dari para sastrawan dan kritikus kontemporer pada sastra kuno atau penganut dari sastra klasik, dan adapun faktornya adalah:
1)     Menyebarnya budaya sastra di sejumlah besar sekolah, pondok, dan perguruan tinggi (universitas), berkat keunggulan Al-Azhar, akademik dan perkumpulan sastra, seperti perkumpulan linguistik di Mesir, perkumpulan ilmiah di Damaskus, perkumpulan Irak di Bagdad, dan berkat keunggulan percetakan yang setiap harinya banyak mencetak buku klasik dan modern.
2)     Publisitas literatur/sastra barat modern di lingkungan sastra kita, dan pengaruh tingkatan atau kwalitas dari sastrawan dan kritikus kita.
3)     Aspek baru dari peradaban, adegan kehidupan, hari demi hari, meninggalkan dampak di pikiran, jiwa, dan perasaan.
4)     Penyebaran semangat revolusi terhadap warisan sastra kuno antara tingkatan sastrawan yang lulus dari perguruan tinggi Mesir dan pondok barat.  Adapun para sastrawan yang mempertahankan dari budaya sastra kuno sendirinya, ini memiliki preferensi dan selera yang bervariasi seperti gerakan pembaruan sastra dan syi’ir: ada orang yang mengingkari janjinya dan meninggalkan warisan sastra kuno,  dan ada orang yang tetap bertahan dan percaya pada orang yang mengajaknya,  dan adapun orang yang yang berhenti di tengah-tengah maka dia akan mendapat kepandaian berbahasa (retorika), karakter, rasa, dan talenta dari masa klasik atau kuno, dan mendapat daya khayal, makna, surat-menyurat dari masa modern.[1]

Metode
1)     Romantisme (al-Rumantikiyyah)
Aliran yang mendasarkan ungkapan perasaan sebagai dasar perwujudan. Untuk mengungkapkan hal tersebut, sastrawan selalu berusaha menggambarkan realitas kehidupan dalam bentuk yang seindah-indahnya dan sehalus-halusnya, sehingga terlihat tanpa celah. Tujuan utama aliran ini adalah agar pembaca mampu tersentuh dan terbuai emosinya, sehingga setiap gejolak yang ada atau konflik yang ditonjolkan, biasanya disusun secara dramatis dan setuntas-tuntasnya.
Dalam hal ini, aliran romantik memang menomorsatukan rasa atau jiwa yang dalam dan menomorduakan rasio. Aliran ini pun menyerukan untuk mementingkan kebebasan dalam berkarya dan puisi atau prosa bersayap rasa yang didalamnya ada mimpi dan imajinasi, baik keindahan maupun kesedihan.[2]

2)     Strukturalisme (al-Binaiyyah)
Aliran strukturalisme memandang bahwa kritik sastra harus berpusat pada karya sastra itu sendiri, tanpa memperhatikan sastrawan sebagai pencipta dan pembaca sebagai penikmat, hal-hal yang disebut ekstrinsik (diluar karya sastra), seperti data-data biografi, psikologi, sosiologi, dan sejarah. Aliran ini menandai dimulainya studi sastra yang bukan bersifat diakronis, tetapi sinkronis. Karenanya, yang perlu dalam melakukan kritik sastra adalah close reading, pembacaan secara mickoskopis atas karya sastra sebagai bahasa. Karya sastra dalam hal ini merupakan karya otonom yang harus diteliti dari karya itu sendiri. Ide dasarnya adalah menolak teori mimetik (yang menganggap karya sastra sebagai tiruan masyarakat), teori ekspresif (yang melihat karya sastra sebagai ungkapan watak dan perasaan pengarang), dan pragmatik (yang memandang karya sastra sebagai media komunikasi antara pengarang dan pembaca yang musti berguna bagi pembaca).
Dengan begitu, seorang peneliti karya sastra tidak tergantung pada aspek diluar karya sastra, dan penelitian karya sastra menjadi positivistik, karena berdasarkan teksnya bisa dibuktikan secara empirik dengan merujuk teks sastra yang diteliti. Teks sastra pun menjadi sebanding dengan tingkah laku sosial, baik politik, ekonomi, maupun sikap sosial lainnya yang menjadi rujukan empiris ilmu politik, ekonomi, dan sosiologi.
Dalam strukturalisme, yang penting bukanlah penjumlahan anasir-anasir sastra, tetapi sumbangan yang diberikan semua anasir pada keseluruhan makna dalam keterkaitan dan keterjalinannya secara keseluruhan atau koherensinya. Hal ini karena menurut aliran struktural, unsur teks hanya memperoleh arti penuh melalui relasi, terutama dalam konteks sastra, relasi asosiasi.  Karya sastra dilihat kaum strukturalis sebagai fenomena yang memiliki struktur (bangunan) yang saling terkait satu sama lain.
Dengan demikian, kritik struktural adalah kritik objektik yang menekankan aspek intrinsik karya sastra, dimana yang menentukan estetikannya tidak saja estetika bahasa yang digunakan, tetapi juga relasi antar unsur. Unsur-unsur itu dilihat sebagai sebuah artefak (benda seni) yang terdiri dari berbagai unsur. Prosa terdiri dari tema, plot, latar, tokoh, dan gaya bahasa. Sedangkan puisi terdiri dari tema, stilistika atau gaya bahasa, imajinasi atau daya bayang, ritme atau irama (mantra [bahr/wazan dalam puisi tradisional Arab]), rima atau persajakan (qafiyah dalam puisi Arab tradisional), diksi atau pilihan kata, simbol, dan enjambemen (sambung-menyambungnya baris atau larik seperti qasidah yang barisnya dua sejajar atau ruba’iyyat yang barisnya empat dengan tersusun ke bawah). Semua unsur-unsur itu dilihat teori strukturalisme jalin menjalin dengan rapi yang memiliki interrelasi dan saling ketergantungan (interrelation and mutual dependencies).[3]

3)     Semiotik (Simiyulujiyyah)
Semiotik berasal dari bahasa Yunani, seme, yang berarti penafsir tanda. Literatur lain menyebut dari kata semeion, yang berarti tanda. Berdasarkan arti leksikal itu, semiotik didefinisikan Aart Van Zoest sebagai ilmu tentang tanda dan segala yang berhubungan dengannya; cara-cara berfungsinya, hubungannya dengan tanda lain, pengirimnya, dan penerimanya oleh mereka yang menggunakannya. Paul Cobley dan Litza Janz mendefinisikan semiotik sebagai studi sistematis mengenai produksi dan interpretasi tanda, bagaimana cara kerjanya, dan apa manfaatnya terhadap kehidupan manusia. Sedangkan yang dimaksud tanda adalah segala sesuatu yang dapat diamati dan diidentifikasi.
Jadi, semiotika dengan demikian tidak hanya menyangkut studi tentang objek tertentu, bahasa misalnya, tetapi studi tentang objek pada umumnya asalkan objek itu merupakan bagian semiosis, yaitu, proses pemaknaan tanda.
Lebih lanjut, Eco menerangkan bahwa semiotika menjadi teori umum tentang kebudayaan dan setiap aspek kebudayaan yang menjadi sebuah unit semantik dapat dikaji dengan sempurna secara semiotik. Karena itulah, wajar jika semiotik dipakai sebagai teori untuk studi, bukan saja sastra, melainkan juga yang lain seperti antropologi dan seni.
Kegunaan semiotik, sebagaimana dikutip diatas, bahwa kita hanya dapat berpikir dengan sarana tanda. Karena itu, tanpa tanda kita tidak dapat berkomunikasi. Tanda-tanda yang dimaksud bukan saja tanda-tanda linguistik, sebagai kategori paling penting yang mempunyai kelebihan dari sistem tanda lainnya, tetapi juga, seperti telah disinggung, tanda pada umumnya. oleh sebab itu, mengingat semiotik merupakan ilmu tentang tanda, maka lewat semiotika, komunikasi serta signifikasi menjadi lebih gamblang.[4]

4)     Sosiologi sastra
Yaitu ilmu yang membahas hubungan antara pengarang dengan kelas sosialnya, status sosial dan ideologinya, kondisi ekonomi dalam profesinya, dan segmen pembaca yang ditujunya. Dalam sosiologi sastra ini, karya sastra, baik isi maupun bentuknya, dilihat secara mutlak terkondisikan oleh lingkungan dan kekuatan sosial tertentu pada periodenya.
Menurut Hippoyte Taine (1766-1817) sebagai peletak dasar sosiologi sastra modern, sebuah karya sastra merupakan faktor yang dipengaruhi oleh ras (apa yang diwarisi manusia dalam jiwa dan raganya), moment (situasi sosial politik pada masanya), dan lingkungan (keadaan alam, iklim, dan sosial).[5]

5)     Feminisme
Kritik sastra feminis merupakan salah satu disiplin ilmu kritik sastra yang lahir sebagai respon atas berkembangnya feminisme di berbagai penjuru dunia. Inti tujuan feminisme adalah meningkatkan kedudukan dan derajat perempuan agar sama atau sejajar dengan kedudukan serta derajat laki-laki.
Arti sederhana dari kritik sastra feminis adalah pengkritik memandang sastra dengan kesadaran khusus, kesadaran bahwa ada jenis kelamin yang banyak berhubungan dengan budaya, sastra, dan kehidupan kita. Jenis kelamin inilah yang membuat perbedaan diantara semuanya yang juga membuat perbedaan pada diri pengarang, pembaca, perwatakan, dan pada faktor luar yang mempengaruhi situasi karang-mengarang. Kritik sastra feminis adalah alasan yang kuat untuk menyatukan pendirian bahwa seorang perempuan dapat membaca sebagai perempuan, mengarang sebagai perempuan, dan menafsirkan karya sastra sebagai perempuan.[6]

6)     Psikoanalisa
Metode ini mementingkan unsur psikologis yang tersembunyi dari sastrawan dalam menjelaskan karya sastranya.[7]

Kritikus
Ibn Salam al-Jamhi (231 H)
Al-Amdhi (371 H)
Al-Qadhi al-Jurjani (392 H)
Ibn Rasyiq (456 H)
Abi Hilal al-Askari (395 H)
Abdul Qahir al-Jurjani (471 H)
Ibn al-Atsir (637 H)
Izzudin Ismail
Toha Husain
Muhammad Kamal Husain[8]





[1] Abdul Mun’im Khofaji Muhammad, Madaris an-Naqd al-Adaby al-Hadist, hal 87
[2] Kamil Sukron, Teori Kritik Sastra Arab Klasik & Modern, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2012, hal 165.
[3] Kamil Sukron, Teori Kritik Sastra Arab Klasik & Modern, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2012, hal 183.
[4] Kamil Sukron, Teori Kritik Sastra Arab Klasik & Modern, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2012, hal 194.
[5] Kamil Sukron, Teori Kritik Sastra Arab Klasik & Modern, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2012, hal 113.
[6] https://othersidemiku.wordpress.com/2014/06/23/kritik-sastra-feminis/
[7] Kamil Sukron, Teori Kritik Sastra Arab Klasik & Modern, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2012, hal 60.
[8] Abdul Mun’im Khofaji Muhammad, Madaris an-Naqd al-Adaby al-Hadist, hal 119.

Cara pembuatan Tinta pada masa klasik

Cara Pembuatan Tinta
Qalqasandy mengutip sebuah kata dari Abi Ali Ibn Muqlah tentang pembuatan jenis tinta yang bagus, jenis tinta terbaik adalah apa yang dibuat dari minyak yang mendidih, yaitu dengan cara diambil 3 pound (2564 gram) dari minyak itu dan alangkah lebih baiknya di saring atau di jernihkan, kemudian di tuangkan di sebuah bejana atau kuali, dan kemudian air dituangkan sebanyak 3 kali lipat dari minyak itu, dan satu pound madu, dan garam senilai 15 dirham, dari pohon afes seharga 10 dirham, dan di rebus diatas api yang sedang, jangan terlalu besar juga jangan terlalu kecil, sampai bentuknya mengental dan menjadi seperti tanah liat, dan disimpan di sebuah wadah dan diambil sewaktu di butuhkan,
Dan ada banyak jenis tinta yang cocok untuk menulis diatas kertas tipis dan ada juga yang cocok untuk menulis diatas kertas yang tebal. Dan Qalqasandi telah memaparkan cara pembuatan dari masing-masing kedua jenis tinta tersebut.
Adapun yang cocok untuk kertas tipis adalah:
Diambil dari sejenis pohon sham sebanyak satu pound kemudian di giling, dan air tawar di tuangkan sebanyak 3 pound, dan membuatnya di bejana atau kuali, dan menempatkannya diatas api lalu membakarnya dengan api yang sedang tidak terlalu gede juga kecil sampai matang, dan dengan tanda kematangan itu dia telah siap untuk dipakai menulis dengan tulisan merah kemudian menuangkannya pada getah Arab sebanyak 3 Awaq (200 gram) jadi sekitar 600 gram, dan satu ons dari asam sulfat kemudian di saring dan di letakkan pada wadah atau tempat yang baru, dan menggunakannya ketika di butuhkan.
Tinta resep saya : membuat pada suhu yang dingin tanpa menggunakan api, diambil dari sejenis pohon afes kemudian di giling dengan sempurna dan akan hancur setiap satu ons pohon afes itu  menjadi satu dirham dari asam sulfat, dan satu dirham dari getah Arab, dan menuangkannya pada gilingan tadi, dan mengambil sewaktu di butuhkan. Jika anda membutuhkannya, tuangkan air secukupnya dan pergunakanlah.
Adapun yang cocok untuk kertas yang tebal adalah :

Diambil dari sejenis pohon sham sebanyak satu pound dan menumbuknya sebentar kemudian di rendam pada 6 pound air dengan sedikit jenis pohon yang tahan lama selama satu minggu, kemudian didihkan diatas api sampai menjadi setengah atau dua pertiga, kemudian di saring dari pembungkus dan meninggalkannya selama tiga hari, kemudian di saring kedua kalinya, kemudian tambahkan per pound air ini dengan satu ons dari getah Arab, dan begitu juga dari asam sulfat, kemudian tambahkan dari tembakau yang telah lama yang telah disebutkan secukupnya. Dengan proses ini harus memiliki kesabaran dan madu untuk mencegah lalat yang akan mengerubunginya,  dan menjaga kesabaran sepanjang waktu dan menjadikan tembakau per pound dari tinta (3 ons) setelah itu layak tembakau dengan kelapa sawit dengan tumbuhan gula (tebu) dan rambut kunyit dan patina penghancuran yang baik, dan jangan menggunakan piring untuk menumbuknya (menghancurkanya) dan jangan lumpang karna akan merusaknya.

Kamis, 22 Desember 2016

Pengertian Paratext

Paratext
Paratext secara leksikografis adalah segala hal atau informasi yang ada dalam sebuah manuskrip maupun karya tulis lainnya selain matan utama. Paratext mempunyai dua cabang ilmu pengetahuan, yakni peritext dan epitext.
Peritext dapat di definisikan sebagai segala informasi yang ada dalam manuskrip maupun karya tulis lainnya tapi bukan matan. peritext mencakup bibliografi dari karya tulis itu sendiri, bisa judul, keterangan penerbit, maupun daftar pustaka. Tapi yang perlu di garis bawahi dalam pengertian peritext adalah bahwa peritext merupakan “inside” dari buku itu sendiri.
Sedang epitext adalah segala hal yang terkait dengan manuskrip tapi “in a space outside the physical book”. Jadi, epitext bisa berupa hasil wawancara pengarang, ataupun hasil riview pengutip terhadap karya tulis asli. Bisa juga hasil kritik atau analisis karya sastra.
Dari beberapa keterangan diatas dapat diambil kesimpulan bahwa paratext berarti segala hal atau informasi yang tertulis dalam sebuah karya tulis namun tidak bagian dari isi karya tulis itu sendiri, baik inside maupun outside.
Menurut Gérard Genette dalam bukunya yang berjudul Palimpseste. Die literatur auf zweiter stufe (1982). Ia menulis bahwa yang dimaksud dengan Paratext adalah bagian yang muncul bersamaan dengan teks, tetapi tidak benar-benar termasuk sebagai bagian dari teks, misalnya seperti judul, sub-judul, kata sambutan, epilog, catatan kepada pembaca, kata pengantar, catatan di pinggir halaman, catatan kaki, tambahan; ilustrasi; sampul buku, dan bagian lainnya yang mendukung teks. Dengan kata lain, bukan hanya hal-hal yang di tambahkan secara langsung oleh penulis saja, unsur yang di tambahkan oleh editor dan penerbit juga merupakan bagian dari Paratext.
Gérard Genette, adalah tokoh perumus konsep sastra Paratext. Ia lahir pada tahun 1930, Genette lahir di Paris, di mana ia belajar di Lycée Lakanal dan École Normale Supérieure. Setelah meninggalkan Partai Komunis Perancis, Genette adalah anggota dari Socialisme ou Barbarie selama 1957-1958. Ia menerima jabatan profesor dalam sastra Prancis di Sorbonne pada tahun 1967. Pada tahun 1970 ia, Hélène Cixous dan Tzvetan Todorov mendirikan jurnal Poetique dan ia diedit serangkaian nama yang sama untuk Éditions du Seuil. Di antara posisi lain, Genette adalah direktur riset di École des Hautes études en ilmu Sociales dan profesor tamu di Yale University.
Genette sebagian besar bertanggung jawab untuk reintroduksi kosakata retoris dalam kritik sastra, misalnya istilah seperti kiasan dan metonimi. Selain karyanya pada naratif, paling dikenal dalam bahasa Inggris melalui seleksi Narasi Wacana: An Essay dalam metode, telah penting. pekerjaan utama adalah seri multi-bagian Angka, yang merupakan bagian dari Narasi Wacana. trilogi-nya pada transendensi tekstual, yang juga telah cukup berpengaruh, terdiri dari Pendahuluan à l'architexte (1979), palimpsests: Sastra di Gelar Kedua (1982), dan Paratexts. Ambang interpretasi (1997).
Pengaruh internasionalnya tidak sebesar seperti yang beberapa orang lain diidentifikasi dengan strukturalisme, seperti Roland Barthes dan Claude Levi-Strauss; karyanya lebih sering termasuk dalam pilihan atau dibahas dalam karya sekunder dari belajar dalam dirinya sendiri. Syarat dan teknik yang berasal dalam kosa kata dan sistem memiliki, bagaimanapun, menjadi luas, seperti paratext istilah untuk prefaces, perkenalan, ilustrasi atau bahan lain yang menyertai teks, atau hypotext untuk sumber teks.
Genette juga seorang sarjana sastra dan teori strukturalis yang telah memiliki dampak yang luas pada pengembangan Kultural. Meskipun Kultural didirikan sebagai bidang studi sebelum Genette, ia mengembangkan terminologi untuk menggambarkan fungsi narasi yang telah menjadi universal. Karyanya pada transtextuality masih ubiquitously dimaksud dalam bidang studi sastra. klasifikasi Genette ini yang ketat dirumuskan, dan hadiah untuk tipologi telah dia peroleh, pengakuan luas di kalangan ulama puisi pada umumnya dan Kultural pada khususnya.
Bila kita kaitkan, antara Paratext dengan kodikologi keduanya merupakan disiplin ilmu yang mempelajari tentang pernaskahan. Bedanya bila Kodikologi mempelajari seluk beluk semua aspek naskah, antra lain bahan, umur, tempat penulisan, dan perkiraan penulis naskah. Sedangkan Paratext adalah bagian yang muncul dari pada teks itu sendiri, tapi tidak termasuk isi.

Senin, 12 Desember 2016

MENGENAL KARAKTERISTIK PERADABAN JAWA
Karakteristik merupakan sifat paling fundamental yang tertanam dalam diri seseorang. Yang itu bisa berubah sewaktu waktu, menyesuaikan tempat tinggal seorang tersebut. Dan yang paling bisa mempengaruhi atau membentuk karakter seseorang adalah ketika dia masih dalam usia dini. Sebagai salah satu contohnya adalah instabilitas yang merupakan dampak nyata dari pembangunan karakter yang hanya menekankan pada loyalitas, tanpa ditunjang dengan adanya kwalitas. Dan itu sangatlah miris. Bagaikan robot yang hanya nurut perintah atasan, tanpa ada daur ulang perintah itu. Layak tidaknya tindakan bila terealisasi.
Sopan Santun
Secara leksikografis sopan santun berarti sebuah sifat luhur seseorang yang memiliki budi pekerti yang baik; tata krama; kesusilaan. Hal ini tentu sangat berkaitan pada orang jawa, bahkan telah ditanamkan pada diri seorang sejak dini, dari pendidikan dasar dimana telah menjadi mata pelajaran tersendiri.
Dalam sebuah madrasah ataupun dalam sebuah pesantren, sopan santun merupakan sebuah adat yang wajib ada pada diri seorang santri. Sebagaimana dalam pepatah jawa dikatakan “Ajine Rogo Songko Busono lan Ajine Diri Songko Lati”. Yang berarti nilai diri/jiwa seseorang itu bergantung pada busana atau pakaian yang dikenakan seorang itu sendiri. Seperti halnya yang biasa didawuhkan (diucapkan) seorang tokoh masyarakat atau kyai, bahwa meski kita kaya akan ilmu, wawasan, dan pengetahuan. Namun bila sebuah pakaian yang kita kenakan itu mencerminkan pada kriminalitas, maka tak lain masyarakat pun akan menganggapnya sebagai seorang berandal, orang yang nakal, dan akan dipandang sebelah mata oleh masyarakat.
Yang kedua adalah Ajine Diri Songko Lati, maksudnya disini adalah seorang itu secara umum dinilai berdasarkan ucapan dan kata-kata yang keluar dari mulut seorang penutur, baik itu berupa nasihat maupun berupa cemoohan. Hal ini tentu sangat berpengaruh dalam penilaian masyarakat terhadap diri seorang tersebut.
Djajendra menjabarkan bahwa sopan santun bukanlah perilaku yang berpura-pura baik untuk sebuah kepentingan, tapi merupakan ekspresi dari sikap rendah hati, yang diperkuat oleh etika dan integritas pribadi dalam konsistensi perilaku. Ketika seseorang kehilangan sopan santun dalam kehidupan, maka dia sedang meracuni kehidupan dengan sikap dan perilaku buruk. Sopan santun memperlihatkan kualitas kepribadian seseorang. Semakin rendah hati dan beretika seseorang, maka dia akan mengekspresikan sopan santun dengan tulus dan penuh percaya diri.
Suku jawa umumnya mereka lebih suka menyembunyikan perasaan. Menampik tawaran dengan halus demi sebuah etika dan sopan santun sikap yang dijaga. Menjaga etika berbicara baik secara konten isi dan bahasa perkataan maupun objek yang diajak berbicara, dalam keseharian sifat Andap Asor terhadap yang lebih tua akan di utamakan. Suku Jawa memang sangat menjujung tinggi etika. Baik secara sikap maupun berbicara. Untuk berbicara, seorang yang lebih muda hendaknya menggunakan bahasa Jawa halus yang terkesan lebih sopan.
Berbeda dengan bahasa yang digunakan untuk rekan sebaya maupun yang usianya di bawah. Demikian juga dengan sikap, orang yang lebih muda hendaknya betul-betul mampu menjaga sikap etika yang baik terhadap orang yang usianya lebih tua dari dirinya, dalam bahasa Jawa Ngajeni.
Adat Istiadat
Gotong royong merupakan salah satu bentuk eksistensi adat yang di pegang orang jawa. Yaitu saling membantu sesama orang di lingkungan hidupnya apalagi lebih kentara sifat itu bila bertandang ke pelosok pelosok daerah suku Jawa di mana sikap gotong royong akan selalu terlihat dalam setiap sendi kehidupannya, baik itu suasana suka maupun duka. Orang jawa sangat memegang teguh pepatah yang mengatakan: ringan sama dijinjing, berat sama dipikul. Ini merupakan konsep dasar hidup bersama yang penuh kesadaran dan tanggung jawab.
Dan pada hari ini, tradisi Maulud Nabi atau yang lebih dikenal oleh masyarakat jawa sebagai perayaan Grebeg. Upacara Grebeg merupakan ritual budaya sebagai puncak perayaan Sekaten untuk memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad SAW. Upacara Grebeg ini digelar di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Melihat dari asal bahasanya, Grebeg berasal dari kata “Gumrebeg” yang berarti riuh dan ramai. Hal itu menggambarkan pada saat acara Grebeg, suasananya sangat riuh dan ramai.
Ada banyak makna yang terkandung dalam perayaan Grebeg di Yogyakarta. Perayaan ini selain memperingati Nabi Muhammad SAW juga ada hubungan yang sangat dekat dengan rakyatnya. Seorang raja memberikan berbagai hasil bumi untuk kemakmuran rakyat yang di simbolkan dengan gunungan.
Disisi lain, konsep hidup “Nerimo Ing Pandum” (ora ngoyo) selanjutnya mengisyaratkan bahwa orang jawa hidupnya tidak terlalu berambisi. Menjalani segala sesuatu yang harus di jalani. Tidak perlu terlalu berambisi untuk melakukan sesuatu yang nyata-nyata tidak dapat di lakukan. Hidup sudah mengalir sesuai dengan koridornya. Bisa saja mempercepat laju aliran tersebut, tetapi laju tersebebut janganlah terlalu drastis. Perubahan tersebut hanya sebuah improvisasi atas kehidupan yang lebih baik dari sebelumnya. Orang jawa mengatakan dengan istilah Jangan ngoyo. Biarkan hidup membawamu sesuai dengan alirannya. Jangan membawa hidup dengan tenagamu.
Bagi orang jawa, hidup dan kehidupan itu sama dengan kendaraan. Dia akan membawa pengemudi pada tujuan yang pasti. Orang Jawa memposisikan diri sebagai penumpang. Kendaraan, atau hiduplah yang membawa mereka menuju kehidupan yang lebih baik. Mereka tidak membawa kendaraan tersebut, melainkan dibawa oleh kendaraan. Seperti air dalam sungai. Jika mereka mengalir biasa, maka kondisinya aman dan nyaman. Tetapi ketika alirannya dipaksa untuk besar, maka aliran sungai tersebut tidak aman lagi bagi kehidupan.
Orang Jawa memahami hal tersebut sehingga menerapkan konsep hidup jangan ngoyo. Ngoyo artinya memaksakan diri untuk melakukan sesuatu. Jika seseorang memaksakan diri untuk melakukan sesuatu, maka kemungkinan besar seseorang itu akan mengalami sesuatu yang kurang baik, misalnya dia akan sakit. Rasa sakit terjadi karena ada pemaksaan terhadap kemampuan sesungguhnya yang di miliki.


HAMMAM EL-MARISMA
(Mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Arab UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)


Minggu, 11 Desember 2016

BELAJAR PENDIDIKAN DARI PESANTREN
Pendidikan merupakan langkah paling fundamental dalam membangun generasi kepemimpinan pemuda masa depan. Indonesia sebagai negara yang di masa depan akan dipimpin generasi mudanya mesti memiliki pemuda yang memiliki kapabilitas keilmuan dan kecakapan moralitas yang kuat. Sayangnya, sistem yang digunakan dalam pendidikan nasional terus berganti, seakan dengan bergantinya Menteri pendidikan, berganti pula sistem yang diterapkan dalam pendidikan nasional. Hal ini membuat karut marut pendidikan Indonesia yang tidak mempunyai tujuan utama apa yang akan menjadi output dari pendidikan nasional selama ini.
Potret pendidikan nasional
Salah satu yang menjadi representasi dari produk pendidikan yang selama ini kita terapkan adalah para pemimpin negara saat ini. Tentu jamak diketahui bahwa para pemimpin kita adalah hasil dari pendidikan nasional yang selama ini kita terapkan. Masalahnya, mayoritas masyarakat sudah muak atas kepemimpinan berbagai pimpinan lembaga negara. Sebagaimana terjadi di Parlemen, Kementerian dan berbagai penyelenggara negara lainnya.
Fenomena ini sungguh menjadi permasalahan yang serius bagi kita semua, terutama mahasiswa. Oleh karena mahasisawa merupakan generasi yang akan memimpin bangsa ini di masa depan. Untuk memformulasi sistem pendidikan yang akan diterapkan di Indonesia, haruslah selaras dengan cita-cita pendiri bangsa Founding Father. Dalam hal ini Ki Hajar Dewantara merumuskan aspek-aspek pendidikan yang ideal pertama, kontinuitas yaitu pendidikan harus dilakukan secara berturut-turut tidak terputus. Kedua, konsentris yakni pendidikan yang fokus pada pengembangan perilaku murid untuk menajdi teladan di masa depan. Ketiga, konvergen yakni menuju satu titik pertemuan yang bersifat sentris.
John Stuart Mill (filosof Inggris, 1806-1873 M) menjabarkan bahwa pendidikan itu meliputi segala sesuatu yang dikerjakan oleh seseorang untuk dirinya atau yang dikerjakan oleh orang lain untuk dia, dengan tujuan mendekatkan dia kepada tingkat kesempurnaan. Tentu keadaan terbalik justru terjadi di Indonesia di mana para pimpinan negara menampilkan perilaku amoral dan tindakan yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebagaimana beberapa bulan ini marak isu-isu korupsi, suap dan penyalahgunaan wewenang. Kasus Setia Novanto misalkan yang telah memperburuk citra bangsa Indonesia sebagai bangsa yang beradab dan berperilaku sesuai moralitas yang baik.
Meminjam  H. Horne, bahwa pendidikan adalah proses yang terus menerus (abadi) dari penyesuaian yang lebih tinggi bagi makhluk manusia yang telah berkembang secara fisik dan mental, yang bebas dan sadar kepada tuhan, seperti termanifestasi dalam alam sekitar intelektual, emosional dan kemanusiaan dari manusia. Bukan penagajaran semata untuk formalisme di dalam pendidikaan. Sebab dampak dari pengajaran semata tanpa proses pendidikan maka hasilnya juga akan sangat mengecewakan.
Sementara John Dewey, mengemukakan bahwa pendidikan adalah suatu proses pembaharuan makna pengalaman, hal ini mungkin akan terjadi di dalam pergaulan biasa atau pergaulan orang dewasa dengan orang muda, mungkin pula terjadi secara sengaja dan dilembagakan untuk menghasilkan kesinambungan social. Proses ini melibatkan pengawasan dan perkembangan dari orang yang belum dewasa dan kelompok dimana dia hidup.
Hal senada juga dikemukakan oleh Edgar Dalle bahwa Pendidikan seharusnya adalah usaha kesadaran yang dilakukan oleh keluarga, masyarakat, dan pemerintah melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan latihan, yang berlangsung di sekolah dan di luar sekolah sepanjang hayat untuk mempersiapkan peserta didik agar dapat mempermainkan peranan dalam berbagai lingkungan hidup secara tetap untuk masa yang akan datang.
Dari itu semua sangat jelas bahwa pendidikan sejatinya melahirkan manusia yang tidak hanya memiliki keilmuan yang dalam dengan profesionalisme yang kuat, melainkan pendidikan juga harus membentuk kepribadian manusia yang berintegritas dengan nilai-nilai akhlak moralitas yang luhur.
Belajar dari Pesantren
Melihat realita kepemimpinan yang mengalami krisis moralitas dan integritas maka kita perlu belajar pendidikan dari pesantren. Dalam hal ini pesantren mempunyai dasar-dasar pendidikan di antaranya adalah pertama, geneologi guru dan murid. Sistem yang digunakan pesantren memiliki kebebasan penuh tanpa dikekang dengan  produk yang mengekang, sehingga terjadi hubungan dua arah
Dalam hal pendidikan pesantren mendasari empat semangat di dalam jiwa sanubari santri, pertama ruh al-tadayun (semangat beragama yang dipahami, didalami dan diamalkan). Kedua, ruh al-wathoniyah (semangat cinta tanah air). Ketiga, ruh al-ta’addudiyah (semangat menghormati perbedaan). Dan keempat, ruh al-insaniyah (semangat kemanusiaan). Keempat semangat itu selalu melekat dalam jiwa santri karna pesantren senantiasa menjadikan empat pilar tersebut dalam proses pendidikannya dan pembelajarannya. Sehingga sistem pendidikan pesantren sangat layak untuk dijadikan sistem pendidikan di Indonesia, sebab pesantren telah membuktikan alumni-alumninya bisa menjadi pemimpin dan teladan di dalam sosial masyarakat.
Dalam konteks saat ini di mana pendidikan tidak mampu menghasilkan generasi muda yang berintegritas maka sangat diperlukan untuk menerapkan pendidikan ala pesantren. Hal itu sudah terbukti yang mana pesantren tidak hanya memberi pendidikan atas pengetahuan semata, melainkan juga tentang moralitas dan akhlak yang baik.

HAMMAM EL-MARISMA

(Mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Arab UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)
Istinjak[1] (cebok) dan Tata Cara Buang Air Besar
Intinja’ (cebok) itu wajib setelah buang air kecil dan buang air besar. Yang utama adalah bersuci dengan menggunakan beberapa batu, kemudian diikuti dengan menggunakan air. Boleh bersuci dengan air saja atau dengan 3 (tiga) buah batu yang dapat membersihkan tempat najis. Apabila hendak memakai salah satu dari kedua cara diatas, maka memakai air adalah lebih utama.
·        Keterangan:
Syarat istinja’ (cebok) dengan menggunakan batu adalah hendaknya najis yang keluar tidak dalam keadaan kering dan tidak berubah dari tempat keluarnya serta tidak mendatangkan najis yang lain. Jika salah satu syarat diatas tidak terpenuhi, maka harus menggunakan air.
Orang yang sedang buang air besar di tempat terbuka (tanah lapang), hendaknya tidak menghadap ke arah kiblat atau membelakanginya. Dan hendaknya buang air kecil dan air besar tidak dilakukan di air yang diam (tidak mengalir), di bawah pohon yang berbuah, di jalan, di tempat bernaung, dan di dalam lubang. Dan hendaknya tidak berbicara (bersuara) saat buang air kecil dan air besar, juga tidak menghadap matahari dan bulan, pun membelakangi keduanya.
·        Keterangan:
Tidak boleh menghadap dan membelakangi kiblat saat buang air besar/kecil di tanah lapang adalah manakala tidak ada penutup, atau ada tetapi tidak mencapai ketinggian 2/3 dzira’, atau mencapai, tetapi jaraknya jauh sampai melebihi 3 dzira’ dengan ukuran standar dzira’ anak adam.
Satu dzira’ menurut imam Nawawi adalah 44,72 cm. Sedangkan menurut imam Rafi’i adalah 44,82 cm. Dan satu dzira’ dengan ukuran standar anak Adam adalah 48 cm.


[1] Kata “al-istinja’” berasal dari kata (نجوت الشيء أي قطعته) yang artinya adalah “saya memutus/membuangnya”.
Tata Cara Wudlu
Fardhunya wudhu ada 6 (enam):
1)    Niat saat membasuh muka
2)    Membasuh muka
3)    Membasuh kedua tangan sampai siku
4)    Mengusap sebagian kepala
5)    Membasuh kedua kaki sampai mata kaki
6)    Dilakukan secara tertib sebagaimana yang telah tersebut diatas.
Sedangkan sunnahnya wudhu ada 10 (sepuluh):
1)    Membaca basmallah
2)    Membasuh kedua telapak tangan sebelum memasukkan ke bejana
3)    Berkumur
4)    Menghirup air ke dalam hidung
5)    Mengusap seluruh kepala dan mengusap kedua telinga bagian luar dan dalam dengan air baru
6)    Menyisir jenggot yang tebal (dengan jari-jemari)
7)    Membasuh sela-sela jari tangan dan kaki
8)    Mendahulukan bagian kanan atas bagian kiri
9)    Menyucikan masing-masing 3 (tiga) kali

10)    Beruturut-turut (bersegera)