KRITIK
SASTRA ARAB KLASIK
SEJARAH
Dalam
sejarah kritik sastra Arab, kritik sastra telah muncul sejak masa Jahiliyah
(pra-Islam), khususnya dalam moment Pasar Raya Ukaz yang tidak saja
berfungsi sebagai pasar material, tetapi juga sastra dan budaya yang melahirkan
karya sastra al-mu’allaqat (karya sastra monumental yang digantung di
dinding Ka’bah).
Pada
masa awal Islam, Nabi sendiri bahkan pernah melakukan kritik terhadap
syair-syair haja’ (ejekan) yang diungkapkan Hasan bin Tsabit, Ka’ab bin
Malik, dan Abdullah bin Rawahah, ketika mereka melawan syair haja’ kaum
Quraisy. Sabdanya, syair dua penyair yang disebut terakhir cukup baik dan yang
paling baik adalah syair Hassan, karena penguasaannya terhadap
peristiwa-peristiwa sejarah Arab, pada masa selanjutnya, Umar, pernah memuji
Zuhair Abi Sulma sebagai penyair terbaik karena syair-syairnya yang tidak ada
pengulangan kata, tidak menggunakan kata asing, dan syair pujiannya yang
berdasarkan kenyataan orang yang di puji.
Pada
Abad ke-2 H (sekitar abad ke-8 M), periode ini merupakan periode tadwin
(koodifikasi) terhadap syair-syair sebelumnya yang berserakan dalam hafalan
orang-orang Arab. Buku kodikasi syair al-Usmu’i dinilai para ahli yang paling
memiliki akurasi sastra Arab Jahiliyah karena ketelitiannya. Periode ini
agaknya berbeda dengan periode sebelumnya, karena periode ini merupakan periode
dimulainya tradisi tulis dalam kritik sastra Arab. Pada abad berikutnya (ke-3
H), kritik sastra mengalami perkembangan ketika muncul kritikus seperti Ibnu
Qutaibah, kritik sastra pada masa ini mengandalkan ukuran kritik ketepatan
kaidah, orisinalitas (plagiat atau bukan), gaya bahasa yang solid (baik),
ukuran maknanya yang baik, dan menggunakan metode perbandingan. Bahkan, kata naqd atau kritik sendiri
pertama kali digunakan untuk sastra pada abad ini. Sebab itu, abad ini membawa
abad berikutnya (abad ke-4 H) mengalami masa matang. Pada periode ini, definisi
dan unsur-unsur syair dan orasi menjadi lebih jelas, munculnya kajian terhadap
struktur puisi dan estetika sastra, menguatnya ukuran orsinalitas dalam kritik,
dan lahirnya metode badi’. Bahkan metode perbandingan yang telah muncul
sejak abad ke-2 H menjadi sangat detail seperti perbandingan antara Abu Tamam
dan al-Buhturi. Diantara kritikus masa ini adalah Hasan bin Basyar al-Amidi dan
Qudamah bin Ja’far.
Periode
berikutnya (abad ke-5) adalah periode emas dimana kritik sastra Arab banyak
memusatkan perhatiannya pada kemukjizatan puitika Al-Qur’an dan aspek estetika bayan.
Diantara kritikus yang lahir pada masa ini adalah Ibnu Rasiq al-Qairawani dan
‘Abdullah al-Qahir al-Jurjani yang menguasai teori sastra Plato dan
Aristoteles.
Sejak
abad ke-6 H hingga masa modern (masa persentuhandunia Arab dengan kolonialisme
Barat yang terjadi pada abad ke-13 H atau abad ke-19 M), kritik sastra
mengalami kemandekan. Meskipun demikian, pada periode yang panjang ini sejarah
kritik sastra Arab mengenal beberapa tokoh kritikus sastra.
Yang
harus menjadi catatan untuk sejarah kritik sastra Arab klasik dan pertengahan
ini adalah bahwa sepanjang sejarah kritik sastra pada dua kategorisasi masa
besar ini, perhatian terhadap syair mendapatkan porsi jauh lebih besar
ketimbang porsi prosa, karena kultur kritik sastra Arab pra-modern adalah
kultur syair bukan prosa.
METODE
Pada
masa klasik terdapat banyak metode kritik sastra Arab, diantaranya:
Pertama,
metode kritik linguistik, yang di bawah oleh Abdul al-Qahir al-Jurjani yang
tidak saja mementingkan interaksi dengan kata, tetapi juga struktur kalimat.
Menurut para ahli unsur-unsur linguistik yang ada dalam sastra merupakan media
pertama yang membawa seorang kritikus mampu menganalisis sastra dengan baik.
Namun, bukan berarti metode ini tidak mementingkan makna atau hubungan
instrinsik makna, karena bagi mereka bahasa bagaikan tradisi lainnya yang
berkembang dan didirikan diatas kesepakatan yang bersifat sinkronis, yang bila
terjadi perubahan dalam tradisi, perubahan makna pun terjadi.
Kedua, metode
klasik yang mementingkan pengkajian terhadap bagian-bagian kata dan makna, Wazan
atau Bahr (prosodi gaya lama) dalam syair, dan penguasaan khazanah
sastra Arab.
Ketiga,
metode estetik, metode ini lebih mementingkan bentuk sastra, karena kekuatan
dan tujuan penciptaan syair adalah keindahan bentuknya. Tidak ada hubungan bagi
kalangan ini, antara syair dengan kebenaran dan kebaikan spiritual. Sisi yang
dipertimbangkan dalam penciptaan syair adalah rasa, karena yang digugah dalam
karya sastra yang menggunakan bahasa sebagai media adalah intuisi pembaca.
Keempat,
metode psikoanalisis, metode ini lebih menekankan pada unsur psokologis yang terdapat
dalam suatu karya sastra yang tersembunyi dari sastrawan dalam menjelaskan
karya sastranya. Metode ini juga bertolak dari asumsi bahwa karya sastra selalu
membahas tentang peristiwa kehidupan manusia.melainkan manusia senantiasa
memperhatikan perilaku yang beragam, sehingga bila kita ingin memahami manusia
lebih dalam maka kita membutuhkan pemahaman tentang psikologi.
Kelima,
metode aliran (ideologis), metode ini lebih mementingkan unsur-unsur ideologi
dari sastrawan yang terdapat dalam karya sastranya. Sudut pandang metode
ideologis ini berdasarkan dari system kepercayaan, nilai-nilai, dan
kategori-kategori yang menjadi acuan bagi seseorang atau golongan dalam
memahami dunia. Dengan kata lain, bila kita berbicara mengenai sudut pandang
berlatar ideologis dalam teks naratif, kita mengartikannya sebagai seperangkat
nilai atau kepercayaan yang dikomunikasikan lewat bahasa teks. Isi atau muatan
ideologi ini merupakan suatu persoalan yang harus diidentifikasi melalui bahasa
teks.
KRITIKUS SASTRA
Beberapa
tokoh kritikus sastra pada masa klasik diantaranya:
a.
Al-Nabigah al-Zibyani,
mengkritik Hassan bin Tsabit dalam sebuah syairnya.
b.
Ibnu Qutaibah, menulis al-Syi’r
wa al-syu’ara.
c.
Al-Jahizh, menulis al-Bayan
wa al-Tabyin.
d.
Hasan bin Basyar
al-Amidi, menulis al-Muwazanah baina Abi Tamam wa al-Buhturi.
e.
Qudamah bin Ja’far,
menulis Naqd al-syu’ara.
f.
Ibnu Rasyiq
al-Qairawani, menulis al-Umdah fi Mahasin al-Syi’ri wa adabihi wa Naqdihi.
g.
‘Abdul al-Qahir
al-Jurjani, menulis dalail al-i’jaz wa Asrar al-Balaghah.
h.
Ibnu al-Asir, menulis al-Misl
al-Sa’ir.
i.
Ibnu Sina al-Malik,
menulis kaidah jenis sastra muwasysyah dalam bukunya Dar al-Tiraz.