Kamis, 18 Mei 2017

Imperialisme Amerika Serikat di Iran

Imperialisme Amerika di Iran
Mossadegh, perdana menteri terpilih hasil pemilihan umum demokratis tahun 1951, melakukan kebijakan ekonomi radikal, yakni menasionalisasi industri minyak Iran sehingga memukul keuntungan minyak Inggris. Awalnya, Amerika Serikat melihat Mossadegh sebagai alat untuk membangun kendali lebih besar atas sumber-sumber minyak Iran dan menggasak Inggris keluar. Tetapi, Washington tampaknya terlalu percaya diri. Mossadegh ternyata menolak memberikan ijin bagi perusahaan-perusahaan minyak AS untuk melakukan eksplorasi. Sikap keras Mossadegh itu menyebabkan Amerika Serikat mengubah kebijakannya, yakni menentangnya.
Dinas intelijen luar negeri AS, CIA, lalu mengatur sebuah kudeta (yang dikenal dengan nama sandi ‘Operasi Ajax’). Untuk menggolkan agendanya, CIA bersandar sepenuhnya pada dukungan para ulama, terutama mentor dari Ayatolah Khomeini, yaitu Ayatollah Abolqassem Kashani, yang mampu memobilisasi sejumlah besar orang dari perkampungan kumuh Taheran melawam Mossadegh yang berpaham nasionalis sekuler. Khasani menerima sejumlah besar uang dari CIA dan memiliki hubungan sangat dekat dengan mereka. Ini adalah kerja dasar yang diletakkan oleh CIA dan Kashani yang kemudian membantu posisi Khomeini untuk peran yang ia jalankan pada revolusi tahun 1979.
Revolusi Iran adalah hasil dari ketidakpuasan yang mendalam dari pekerja, mahasiswa, petani, pedagang (bazaaris), melawan rejim Shah yang didukung Amerika Serikat. Kaum kiri memainkan peran dalam pemberontakan di kalangan militer dan protes-protes mahasiswa, namun mereka gagal menyediakan kepemimpinan bagi gerakan secara keseluruhan dengan berbagai alasan, termasuk diantaranya bagian yang dimainkan oleh pekerja Iran, terutama para pekerja minyak, menyediakan rangka kunci yang mengakibatkan jatuhnya Shah, namun mereka tak bisa memainkan peranan yang independen. Ini membuat Ayatollah Khomeini, selama dua tahun, bisa mengatur siasat antara beragam faksi dan mengambil alih kekuasaan untuk Partai Republik Islam.
Khomeini sebagai seorang Syiah, mampu mencapai sesuatu yang tak seorang Islam Sunni mampu melakukannya. Dia tak hanya membawa mahasiswa, kelas menengah di perkotaan, dan para pekerja sebagai pengikut, namun juga membawa bersama dua kelas yang berkecenderungan ke arah Islamisme, yakni kaum miskin kota dan pedagang, begitu juga dengan kelas menengah yang religius. Setelah berkuasa penuh, versi pandangannya terhadap Syiah Islam kemudian dipakai untuk mengislamkan masyarakat Iran, sementara semua interpretasi lain dikucilkan.
Dengan akarnya yang menghunjam dalam, republik Islam Iran kemudian mulai menantang hegemoni Saudi di dekade 1980-an. Model Iran adalah tentang Islam Kerakyatan (people’s Islam), yang konsekuensi selanjutnya adalah digunakannya kata ‘Islam’ dengan ‘revolusi’ secara bersamaan. Model Saudi, disisi lain, adalah pendekatan dari atas ke bawah berdasarkan penggunaan harta kekayaan dari minyak untuk menyebarkan Islamisme, yang dikontrol dan dikelola secara ketat dari atas, terutama pada elemen-elemen radikal yang condong mengganggu status quo. Dua strategi yang saling bersaing ini adalah tawaran kepada islamis di seputar wilayah tersebut. Ketika Iran menunjukkan kesan tentang Syiah yang moderat untuk menarik para intelektual muda islamis, Saudi Arabia justru menitikberatkan pada Syiah Iran dan bahkan mencela revolusi 1979 sebagai kendaraan untuk nasionalisme Persia.
Namun demikian, walaupun konflik ini tak kunjung mereda, banyak Islamis baik dari sekte Sunni maupun Syiah, yang terinspirasi dengan revolusi Iran. Mereka melihat Iran menawarkan model untuk menggulingkan pemimpin pro Barat dan menciptakan sebuah negara Islam. Bagi mereka, Revolusi Iran sejenis dengan Revolusi Prancis atau Revolusi Bolshevik. Sebagaimana dikatakan oleh satu Islamis dari tradisi Sunni, “Dengan menjatuhkan Shah Iran dalam waktu singkat, Khoemeini telah membangkitkan semangat juang kami... Dia juga memobilisasi pemuda Arab nasionalis yang tadinya skeptis mengenai kemungkinan membangun kembali kekhalifahan di abad ke-21.”[1]
Jika Revolusi Iran dilihat sebagai inspirasi, tidak hanya oleh Islamis arab namun juga oleh kaum nasionalis, ini bukanlah bagian kecil dari kelemahan internal dari nasionalisme Arab. Saat Amerika Serikat memainkan peran penting dalam menghalangi nasionalisme sekuler dan menggagalkan kaum kiri di Iran dan negara lainnya, kelemahan internal nasionalisme sekuler, sama dengan beragam partai-partai kiri, juga memainkan peranannya.
Namun demikian, sebuah catatan final tentang dampak dari intervensi imperial yang berkelanjutan harus diberikan. Meski kolonialisme formal telah berakhir, Barat terus melanjutkan dominasinya pada Timur Tengah dan negara lainnya melalui pemimpin-pemimpin lokal yang mudah dipengaruhi. Dari Mesir hingga monarki-monarki Teluk, ke Afghanistan dan Irak, Amerika Serikat terus menancapkan kontrolnya terhadap negara-negara yang memproduksi atau menjadi rumah bagi lalu-lintas minyak, melalui aliansinya dengan para pemimpin korup yang tidak bertanggung jawab pada rakyatnya. dinamika ini, begitu pula dengan dukungan Amerika Serikat untuk Israel, pada akhirnya meletupkan sentimen anti imperialis. Pada saat bersamaan, karena kekuatan kiri sangat lemah, para Islamis mampu mengambil keuntungan politik dari sentimen anti imperialis ini.



[1] Di cuplik di Ibid., 84.

Rabu, 17 Mei 2017

Imperialisme Amerika Serikat di Afghanistan
Ketika Amerika Serikat mendukung berbagai macam Islamisme dari tahun 1950-an, adalah dukungannya pada para prajurit suci Islamis Afghan (Islamist holy warriors atau mujahidin) dari 1979 dan sesudahnya, yang bakal menjadi penentu dalam memproyeksikan Islamisme, terutama sayap radikal, ke dalam tataran Internasional setelah 1990-an. Bagi Amerika Serikat, dukungan kepada mujahidin berarti alat untuk melemahkan musuh Perang Dinginny, yaitu Uni Soviet. Karena itulah, dengan bantuan dari sekutunya di wilayah (Saudi Arabia, Mesir, Israel, dan Pakistan), Amerika memompa nilyaran dollar untuk pelatihan dan persenjataan para mujahidin.
Sebagai tambahan pada kelompok-kelompok yang berbasis di Afghanistan, Amerika Serikat secara aktif menciptakan sejumlah prajurit suci sebagai cara yang lebih efektif dalam menantang Uni Soviet. Maka CIA kemudian menjalankan program rekruitmen dan mengadakan tur untuk orang-orang seperti Osama bin Laden dan Sheikh Azzam (pemimpin spiritual mujahidin dan satu dari pendiri kelompok Palestina Hamas). Azzam juga berkeliling luas ke Amerika Serikat, mengunjungi 26 negara bagian. Mereka yang direkrut melalui kegiatan ini kemudian dilatih di berbagai lokasi militer yang ada di Amerika Serikat.
Pelatihan resmi dimulai di bawah pemerintaha Carter, dan termasuk pelatihan personel CIA, prajurit militer, dan operasi-operasi ISI (dinas rahasia militer) Pakistan, yang nantinya melatih para mujahidin di Afghanistan dan Pakistan. Para pelatih mujahidin Afghan memberikan materi lebih dari keterampilan yang mematikan, seperti bagaimana menusuk musuh dari belakang, bagaimana mencekik mereka, bagaimana menggunakan gerakan karate untuk membunuh, bagaimana menggunakan mesin yang canggih, sekring, dan bahan peledak yang canggih, bagaimana memakai alat kendali jarak jauh (remote control) untuk melepaskan bom, dan teknik perang psikologis. Amerika Serikat juga menyediakan sejumlah besar persenjataan seperti bahan peledak plastik C4, senapan laras panjang, roket anti tank yang digerakkan oleh kawat, dan roket anti pesawat Stinger.
Sumber utama para sukarelawan dari jihad Afghan adalah dari dunia Arab dan ribuan orang yang kini kemudian dikenal sebagai “Arab Afghanistan”, yang berasal dari Mesir, Saudi Arabia, Aljazair, dan beberapa negara lainnya. Hingga saat itu, Islamis militan di negara-negara tersebut tidak punya program di luar aksi-aksi isolasi teror perkotaan. Perang Afghanistan dipakai untuk menyatukan mereka, melatih mereka, dan membuat gerakan mereka hidup. Sebagaimana yang ditulis Fawaz Gerges,
“Di Afghanistan untuk pertama kalinya didirikan sebuah tentara global yang sesungguhnya, prajurit-prajurit Islam-Arab Afghanistan. Tak pernah sebelumnya d masa modern terdapat begitu banyak sekali Muslim dari berbagai tanah yang berbeda dan berbicara dengan bahasa yang berbeda, melakukan perjalanan ke sebuah negara Muslim untuk berperang melawan satu musuh bersama. Mereka warga negara Mesir, Saudi, Yaman, Palestina, Aljazair, Sudan, Libya, Tunisia, Maroko, Lebanon, Pakistan, India, Indonesia, Malaysia, dan sebagainya.[1]
Ketika Uni Soviet mundur dari Afghanistan tahun 1989, hal ini menjadi poin tertinggi dari gerakan Islamis Global, dan selanjutnya memberikan legitimasi bagi taktik ekstremis para militan di mata mereka yang melihat para prajurit suci ini sebagai pembuka jalan ke masa depan. Setelah tugas mereka di Afghanistan selasi, para mujahidin lalu berpencar ke wilayah-wilayah lain seperti Bosnia, Kashmir, dan lainnya untuk meneruskan perang suci.[2] Bekas aset CIA Osama bin Laden, kemudian bersekutu dengan Ayman Al-Zawahari asal Mesir, membentuk Al-Qaeda dan mengubah para pelaku jihad Afghanistan menjadi sebuah fenomena global.
Diluar al-Qaeda, sebagian besar dari para militan yang telah berperang di Afghanistan kembali pulang ke Saudi Arabia, Mesir, Aljazair, dan lain sebagainya. Berbekal pelatihan perang yang mereka peroleh dari CIA-ISI dan pengalaman perang langsung di garis depan, para eks jihadis ini mulai memperluas taktik kekerasan di negara-negara tersebut. Yang lainnya pindah dan tinggal di daerah-daerah suku di Pakistan (juga di perkemahan mujahidin Afghan) dan mulai melatih generasi baru para jihadis. Generasi berikutnya ini muncul pada saat sistem universitas mengalami kemunduran dan tak seterdidik sebagaimana generasi sebelumnya. Oliver Roy menyebut kelompok ini sebagai lumpenintelligentsia, dan berpendapat bahwa mereka lebih berkecenderungan ke pandangan neo-fundamentalis. Ini adalah sebuah kelompok orang yang akan terus melancarkan berbagai serangan di negara-negara Barat, dari Prancis hingga Amerika Serikat.
Konsekuensi lain dari Perang Soviet-Afghanistan adalah kemunculan Taliban dan berbagai pasukan Islamis militan Pakistan. Perang Afghanistan telah menciptakan krisis pengungsi besar-besaran dan tiga juta warga Afghanistan dipindahkan ke Pakistan. Miskin dan terlantar, para pengungsi Afghanistan ini lalu mengirimkan anak-anak mereka ke sekolah gratis (madrasah) berbasis tradisi Deobandi Islam. Anak-anak ini tinggal di madrasah dan lepas dari lingkungan keluarganya serta masyarakat pada umumnya, sehingga membuat para ulama memiliki kesempatan emas untuk mencuci otak mereka dengan ide-ide Deobandi Islam. Anak-anak Afghanistan ini juga berbaur dengan anak-anak Pakistan dari berbagai etnik dan mulai membuat sebuah identitas Islam yang universal. Generasi anak-anak ini kemudian akan muncul dalam dua faksi: Taliban Afghanistan dan milisi ekstrimis sunni yang tak hanya membawa perjuangan mereka ke Kashmir, tapi juga melakukan pembantaian dan mengganggu kaum Syiah di Pakistan. Jamaah Ulama Islam (JUI), partai ulama yang berasosiasi dengan Deobandi melihat hal ini sebagai cara untuk memajukan agenda mereka.
Dengan dukungan dari pemerintahan Benazir Bhutto di Pakistan, Taliban mulai memegang kendali atas Afghanistan di tahun 1994, dan akhirnya menaklukan Kabul pada 1996. Begitu berkuasa, mereka menerapkan filosofi Deobandi tak hanya kepada komunitas mereka sendiri namun juga kepada keseluruhan Afghanistan. Sementara berbagai kelompok mujahidin yang berkuasa di Afghanistan telah mulai mengislamkan masyarakat Afghanistan, Taliban membawanya ke sebuah tahapan yang baru.
Perempuan dipaksa memakai jilbab dan tak diperbolehkan bekerja; lelaki harus menumbuhkan jenggot dan memakai jenis pakaian khusus; polisi moral dibangun untuk menegakkan panji-panji moralitas Islam; televisi, musik, dan film dilarang ketat. Singkatnya, atmosfir di dalam madrasah diproduksi kembali ke dalam kota-kota dan desa-desa di Afghanistan. Selain penegakkan dogma agama, perdagangan tingkat dasar, dan peperangan, Taliban sedikit sekali punya ketertarikan pada hal lain. Mereka lebih suka pedesaan daripada perkotaan, jalan tradisional daripada modernitas. Kendati demikian, Amerika Serikat lebih dari senang untuk bekerja dengan Taliban dalam rangka membangun pipa kilang minyak untuk membuka sumber gas alam dan minyak ke Laut Kaspia.
Pendeknya, intervensi Amerika Serikat ke Afghanistan (dan Pakistan), memainkan peran yang tidak kecil dalam melancarkan kekuatan beragam kaum Islamis. Arab Afghan mengenalkan wacana dan taktik yang lebih ekstrim ke dalam gerakan islamis di berbagai negara; beberapa diantaranya meneruskan perang suci ke wilayah lain; mujahidin yang tetap tinggal kemudian melatih generasi baru neo-fundamentalis; bin Laden membentuk al-Qaeda dan membangun pandangan pribadinya terhadap Barat; dan Taliban, juga berbagai kelompok Islam Sunni di Pakistan, terus melanjutkan usahanya untuk wilayah tersebut.
Kendati peran yang dimainkan Amerika Serikat dalam mengobarkan kebangkitan fundamentalisme Islam sangat krusial, ulasan atau analisis dominan dari bahaya teroris baru sering menghilangkan sejarah ini. Sebaliknya, ulasan-ulasan ini justru menyoroti Iran, yang revolusinya di tahun 1979 dipandang sebagai sumber dari seluruh kejadian yang berhubungan dengan Islamis. Meski begitu, bahkan disini, Amerika Serikat memainkan perannya, yakni dengan membatasi dan menggagalkan kaum kiri, Amerika Serikat telah membantu terciptanya keterburukan ideologi bagi kaum islamis.




[1] Gerges, Journey of Jihadist, 111.
[2] Kepel, Jihad, 10.

Minggu, 14 Mei 2017

Imperialisme Amerika dan Islam Politik
Selama Perang Dingin, Amerika Serikat memandang nasionalisme dan komunisme radikal sebagai ancaman buruk untuk pengaruh mereka. Setelah periode awal ketika Washington berusaha memenangkan Nasser, dan nasionalis sekuler Iran Mohammded Mossadeqh ke pihak mereka gagal, Washington kemudian mengembangkan strategi Islam dimana kelompok-kelompok Islamis yang dibantu Saudi Arabia, dibiarkan untuk kemudian dijadikan benteng pertahanan melawan nasionalisme radikal dan komunisme. Selama tahun 1950-an, Amerika Serikat menggunakan Persaudaraan Muslim (Ikhwanul Muslimin/IM) di Mesir untuk menentang Nasser, dan sekelompok ulama di Iran untuk menentang Mossadeqh.
Jika Mossadeqh mewakili potensi terhadap apa yang penguasa nasionalis sekuler bisa lakukan terhadap Barat atas kepentingan minyaknya (ia menasionalisasi industri minyak), Nasser mewakili skenario mimpi buruk Washington. Mesir memang tak memiliki kekayaan minyak, tapi ideologi Nasserisme yang menitikberatkan pada persatuan seluruh bangsa Arab, coba mempersatukan negara-negara kota yang maju secara teknologi dengan kelas pekerja yang terampil dalam jumlah besar, dengan negara-negara penghasil minyak yang kaya-raya. Kombinasi Kairo dan Riyadh jelas bakal mempersulit dominasi Barat terhadap sumber-sumber minyak dikawasan tersebut. Maka, sebagai tambahan bagi rencana kudeta melawan Nasser, termasuk berbagai percobaan pembunuhan terhadapnya, seperti meracuni coklatnya dan lain sebagainya, Amerika Serikat mulai memperkuat Persaudaraan Muslim di satu sisi, dan di sisi lainnya makin bersandar pada Saudi Arabia untuk beraksi sebagai pengimbang bagi Kairo. Pada kasus Iran, CIA berhasil melakukan kudeta dan menempatkan rejim Shah Iran sebagai bonekanya.
Jika sebelumnya Persaudaraan Muslim di Mesir dibangun dengan dana dari British Suez Canal Company, maka adalah dukungan Amerika Serikat dan Saudi Arabia yang membuat mereka jadi tumbuh dan berkembang. Saudi Arabia menggunakan Persaudaraan Muslim untuk melawan rejim sekuler di Mesir, Syria, dan Irak, dan kemudian membantu membangun basisnya di Sudan. Saudi Arabia juga mendorong Persaudaraan Muslim di Afghanistan dan Pakistan, dimana mereka bersekutu dengan Jamaah Islami yang dipimpin Maududi. Seperti yang dicatat oleh salah seorang senior CIA,
“lensanya adalah Perang Dingin. Perang Dingin adalah saat yang sangat menentukan. Kita melihat Nasser sebagai sosialis, anti Barat, anti pakta Baghdad, dan kita sedang mencari semacam transaksi. Usaha Saudi untuk mengislamkan kawasan tersebut kita anggap sebagai hal menentukan dan efektif dan sepertinya akan sukses. Kita suka itu. Kita punya sekutu melawan komunisme.”[1]
Persekutuan ini, meletakkan basis yang sangat kokoh bagi proses Islamisasi, dan pada akhirnya sukses merebut inisiatif dari kelompok nasionalisme sekuler, ketika kelompok terakhir ini mengalami proses kemunduran di akhir dekade 1960-an.
Sebagai tambahan untuk nasionalis sekuler, Washington menganggap berbagai partai sosialis dan komunis di wilayah Timur Tengah sebagai ancaman. Untuk itu segala macam cara dilakukan Washington untuk membatasi dan kemudian menghancurkan pengaruh partai-partai tersebut, dari propaganda hingga pembunuhan.
Sebagaimana yang ditunjukkan oleh dokumen keamanan nasional yang telah dibuka untuk umum, Amerika Serikat menggunakan propaganda besar-besaran dalam bentuk film, pamflet, poster, manipulasi berita, majalah, buku, radio, kartun, dan lain sebagainya untuk melawan ideologi komunis. Satu contoh poster ditonjolkan adalah ‘Greedy Red Pig’ (Babi Merah Rakus) dengan sebuah palu dan arit untuk ekornya. Tujuannya adalah membuat negara Komunis Soviet tampak konyol sekaligus menakutkan di mata masyarakat Arab. Sisi lain dari usaha  komik itu (yang punya sedikit sekali pengaruhnya) adalah pembunuhan-pembunuhan yang direncanakan. Amerika Serikat memberikan bantuan pada pemerintah dan kelompok paramiliter sayap kanan untuk membunuh kaum kiri, seperti yang terjadi di tahun 1963, ketika CIA memasok partai Baath dengan nama-nama anggota Partai Komunis Irak untuk dibunuh.
Saudi Arabia
Titik balik perubahan strategi politik Amerika Serikat yang mendorong Islam ke tahapan politik dimulai pada dekade 1950-an. “Kami ingin mengeksplorasi kemungkinan untuk mengukuhkan Raja Saud sebagai pengimbang Nasser,” tulis Eisenhower pada seorang kepercayaannya. “Sang Raja adalah pilihan logis dalam hal ini; setidaknya dia mengaku sebagai anti Komunisme, dan dia menikmati (dalam dasar-dasar agama) kedudukan yang tinggi diantara seluruh negara-negara Arab.”[2] Dalam hal ini, Eisenhower dipengaruhi oleh ide-ide umur yang berlaku di kalangan akademisi berpengaruh yang berpendapat bahwa Islam telah terganggu dengan pengaruh Barat, dan karenanya patut dibawa kembali (dengan bantuan dari Amerika) ke posisinya yang terhormat.
Jelas ini adalah sebuah pemahaman yang simplistik dari peran agama dan politik Timur Tengah. Biarpun begitu, pandangan ini menggerakkan sebuah operasi gabungan yang Inggris sebut Omega, dimana Amerika Serikat mencari cara untuk mengisolasi Nasser dan menciptakan kutub alternatif yang menarik pada Raja Saud. Beberapa administrator bahkan mulai mengembangkan pendapat tentang Saud sebagai Paus Islam. Saud meskipun demikian, gagal untuk menjadi kutub magnetik yang dimaksud dengan berbagai alasan. Penerusnya, Raja Faisal, mengambil alih posisi tersebut dan membuat langkah-langkah penting dalam mengislamkan wilayahnya. Sejak itu, Saudi Arabia telah menjadi satu dari sekian promotor Islamisme yang paling berpengaruh dan berkuasa dibalik layar.
Meskipun Saudi Arabia adalah negara penghasil minyak dan memiliki cadangan minyak terbesar di dunia, namun ia memiliki sedikit legitimasi politik di Timur Tengah selama era nasionalisme sekuler progresif. Secara regional, Nasserisme diterima secara luas sebagai model dan Mesir bertindak sebagai kekuatan politik dominan hingga akhir 1960-an. Bagaimanapun juga, setelah 1973, dinamika ini kemudian berubah. Embargo minyak menaikan prestise Saudi Arabia, begitu besarnya sehingga Saudi Arabia mampu merebut inisiatif dan menaruh Wahabisme ke dalam peta. Elit pemimpin Saudi kemudian menggunakan sumber minyak mereka untuk memajukan Islamisme dengan cara-cara sebagai berikut:
Mereka membangun jaringan kerja sosial, seperti lembaga-lembaga penyantun dan panti asuhan yang sangat luas, sehingga membuat kelompok-kelompok Islamis mampu menyediakan solusi bagi krisis ekonomi di berbagai negara.
Mereka menggunakan Liga Muslim Dunia, yang didirikan tahun 1962 untuk menandingi sekulerisme.
Mereka mengajak sejumlah negara-negara di wilayah mereka dibawah payung Organisasi Konferensi Islam (OKI) tahun 1969, untuk menetapkan agenda yang konsisten dengan pandangan Saudi.
Mereka menciptakan sistem keuangan Islam (Islamic Finansial System) yang mengikat berbagai negara Timur Tengah, Asia, dan Afrika ke dalam negara-negara kaya minyal.
Jika Liga Muslim Dunia dan Organisasi Konferensi Islam adalah alat politik untuk membangun hegemoni Saudi, maka sistem keuangan Islam menyediakan basis bagi pertumbuhan ekonomi mereka. Dibawah bimbingan Saudi, sejumlah besar uang yang masuk ke dalam negara-negara pengekspor minyak Arab di awal tahun 1970-an diarahkan ke jaringan perbankan yang berada di bawah kendali hak Islam (Islamic right) dan Persaudaraan Muslim. Bank-bank ini kemudian mendanai para politisi yang bersimpati, partai-partai, dan perusahaan media, juga usaha-usaha bisnis dari kelas menengah yang saleh (sebuah kelompok yang terdiri atas para keturunan kelas-kelas saudagar pemilik bazar-bazar atau toko-toko atau dalam bahasa Arab disebut dengan Souk). Yang juga kecipratan limpahan uang ini adalah para profesional kaya baru, hasil dari bekerja di berbagai negara penghasil minyak tersebut. Persaudaraan Muslim juga mendanai operasi mereka di Mesir, Kuwait, Pakistan, Turki, Yordania melalui perbankan ini.
Barat secara penuh menyokong sistem perbankan ini. Tak ingin dipinggirkan dari uang dollar minyak yang kini mengalir melalui bank-bank ini, bank-bank Barat berpartisipasi dengan cara menyediakan keahlian mereka, pelatihan, juga pengetahuan teknologi. Para pemain kunci di Amerika Serikat ini meliputi Citibank, Chase Manhattan, Price Waterhouse, dan Goldman Sachs. Disamping itu, bangkitnya sistem perbankan Islami bersinggungan dengan perkembangan model neoliberal di Barat. Hubungan dekat ini ditempa oleh guru neoliberal Milton Friedman dan para muridnya di Universitas Chicago, AS, serta kaum Islamis. Robert Dreyfuss menulis, keungan Islam secara berulang bersandar pada ekonom sayap kanan dan politisi Islam yang mendorong terjadinya privatisasi, pandangan pasar bebasnya aliran Chicago. Tidak mengherankan, ketika berkuasa kaum Islamis ini kemudian mengadopsi kebijakan neoliberal, seperti yang terjadi di Aljazair dan sudan.
Pada akhirnya, melalui berbagai lembaga politik, agama dan ekonomi, Saudi Arabia memainkan peran penting di balik layar dalam memperluas Islamisme. Gilles Kepel mengamati,
“Pengaruh Saudi Arabia kepada kaum Muslim di seluruh dunia memang lebih tak kentara dibandingkan Khomeini di Iran, tetapi efek yang ditinggalkannya lebih dalam dan lebih tahan lama. Kerajaan tersebut mengambilalih gagasan dari nasionalisme progresif, yang mendominasi di tahun 1960-an, lalu kemudian mengorganisasi ulang lanskap religius mengikuti arahan mereka, dan kemudian, dengan menyuntikkan sejumlah uang yang substansial ke dalam saham-saham Islam dalam berbagai bentuknya, mereka berhasil meyakinkan banyak orang untuk menjadi mualaf. Diatas segalanya, Saudi membangun sebuah standar baru (peradaban Islam yang berbudi luhur) untuk membentengi diri dari pengaruh Barat, sementara pada saat yang sama tetap mengelola persekutuan mereka dengan Amerika Serikat dan Barat dalam melawan blok Soviet (tidak seperti Iran).”[3]
Pendeknya, Saudi Arabia telah memainkan peran kunci dalam mempromosikan Islam politik. Seperti yang dicatat Rachel Bronson, “adalah Saudi Arabia, dengan kekayaannya yang melimpah dan ancaman asingnya yang sangat nyata, yang mengubah wacana global tentang Islam Politik. Dan ika Serikat.”[4] Peran ini makin kentara setelah tahun 1979, ketika Uni Soviet menginvasi Afghanistan dan Revolusi Iran mengakhiri Shah.



HAMMAM EL-MARISMA
(Mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Arab UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)




[1] Dreyfuss, Devil’s Game, 97-125.
[2] Dicuplik dari Dreyfuss, Devil’s Game, 121.
[3] Kepel, Jihad, pp. 61-62.
[4] Bronson, Thicker than Oil, 11.

Jumat, 12 Mei 2017

Kegagalan Islam Revivalis
Ketika reaksi para pemimpin masyarakat terhadap kolonialisme itu mengarah pada modernisasi dan sekularisasi, lainnya beralih pada dasar-dasar Islam yakni Al qur’an, kehidupan Rasulullah dan pengikutnya, komunitas Islam awal, untuk menawarkan solusi dan sebuah model bagi reformasi Islamis. Mereka yang membangkitkan kembali nilai-nilai Islam (kaum revivalis), melihat kolonialisme dan imperialisme Eropa, terutama akhir abad ke 19 dan awal abad 20. Ketika kekuatan Eropa mulai menunjukkan ekspansi yang serius ke Afrika, Asia dan Timur Tengah sebagai ancaman utama bagi kemurnian identitas relijius dan politik Muslim. Para pemimpin Islam revivalis ini adalah para individu dari kelas menengah yang saleh, yang mencari cara untuk membatasi kendali dan otoritas yang pernah dipunyai ulama terhadap teks-teks Islam dan bersikukuh pada hak interpretasi individu (ijtihad) dari teks-teks Al Qur’an dan Sunnah Rasul.
Para tokoh kunci dari aliran baru ini adalah Jamal al-Din al-afghani, Muhammad Abduh dan Rashid Rida. Mereka bertiga secara bersama-sama menaruh dasar-dasar pemikiran Salafiyah. pada intinya, kaum salafi (Salafis) ini mendakwahkan ajaran untuk kembali pada tradisi komunitas relijius asli di masa-masa Nabi Muhammad (Salaf). Namun, bahkan dalam tahap kebangkitan Islam yang seperti ini, pemikiran Salafi sedikit sekali bicara tentang negara melampaui perannya dalam menerapkan Syariah. Tak ada keberatan atau kutukan terhadap pemerintahan-pemerintahan Muslim dan karenanya tak ada yang bergerak untuk menumbangkan pemerintahan ini. Sebuah perubahan yang di dalam salafisme bakal terjadi setelah abad ke duapuluh.
Terinspirasi dari tulisan Rashid Rida, Hassan al-Banna mendirikan Persaudaraan Muslim (Muslim Brotherhood) di Mesir pada 1928. Pada waktu yang sama, Sayyid Abul Ala Maududi menerbitkan doktrin Islamnya di bagian benua India. Maududi terispirasi dari al-Banna dan kemudian mendirikan Jama’ah Al Islamiyah di tahun 1941. Kedua organisasi tersebut terlibat dalam perjuangan pembebasan nasional, namun menolak masionalisme sekuler. Maududi menuntut pembentukan negara Islam di seluruh India berdasarkan hukum Syariah. Mirip dengan itu, Persaudaraan Muslim menolak tuntutan kaum nasionalis Mesir, yang menuntut diakhirinya peraturan atau hukum Inggris dan pembentukan negara modern di dalam undang-undang. Persaudaraan Muslim berpendapat, mereka tak perlu berkiblat pada model Barat untuk membangun masyarakat; sebaliknya mereka memenangkan slogan yang masih dipakai sampai sekarang “Al Qur’an adalah undang-undang kita”. Pendiri Persaudaraan Mesir kemudian membangun cabang-cabang di beberapa negara, seperti Lebanon, Yordania, Palestina dan Sudan.
Meski demikian, semua gerakan Islam revivalis dan kelompok-kelompok yang dibahas di atas adalah para pemain minor dalam lapangan politik di abad ke-19 dan awal pertengahan abad ke-20. Kecenderungan dominan di Timur Tengah dan Afrika Selatan pada periode ini, seperti yang telah dibahas di atas, bergerak ke arah sekularisme dan modernisasi. Sehingga, walaupun dengan segala usahanya, ‘bapak’ dari pemikiran Islamis modern, al-Afghani, gagal membangun persekutuan seluruh Islam (Pan-Islamisme). Sementara kalangan nasionalis sekuler di India dan Mesir mendapatkan dukungan mayoritas dari warganya, kalangan Islamis sebaliknya menempati posisi pinggiran.
Setelah Perang Dunia II, sebuah generasi dari nasionalis sekuler radikal yang anti-kolonial mengambilalih posisi dari para pendahulunya. Generasi sebelumnya dipandang telah gagal mengakhiri kolonisasi, dan situasi kolonial telah menjadi sesuatu yang tak tertahankan bagi sebagian besar masyarakat. Meskipun pada 1945 banyak negara-negara Timur Tengah dan Afrika Selatan yang diberikan kemerdekaan secara formal, pada kenyataannya mereka tidak bebeas. Uni Emirat Arab (The league of Arab States) dibentuk pada 1945, terdiri atas negara-negara yang harusnya merdeka: Mesir, Syria, Irak, Yaman, Lebanon, Trans Yordania, dan Saudi Arabia. Namun kenyataannya mereka berada di bawah kepemimpinan Inggris. Mayoritas penduduknya kecewa dengan kepemimpinan mereka. Kelas atas dan menengah yang pro Barat, dianggap tak mampu membawa perubahan internal. Sementara para tuan tanah aristokrat diremehkan karena kolusinya dengan kekuatan penjajah dan tanpa malu-malu mendahulukan kepentingan dirinya sendiri.
Kekalahan Palestina pada 1948 dan gagalnya negara-negara Arab menghentikan pembentukan negara Israel, makin memperburuk keadaan. Hasilnya, ketidakpuasan yang meluas ditambah tekanan dari pihak kiri yang dilakukan oleh berbagai partai Komunis di wilayah mereka, telah memaksa gerakan nasionalis menjadi lebih radikal. Pada fase baru ini, kita melihat munculnya nasionalisme Arab radikal di Timur Tengah, dengan para pemimpin kuncinya seperti Gamal Abdul Nasser dari Mesir, yang menyebut diri mereka dan program-programnya sebagai “sosialisme Arab”.
Nasionalisme Sekuler Radikal
Setelah perang usai, nasionalisme sekuler radikal merupakan filosofi politik yang dominan di negara-negara terjajah, dari Indonesia sampai Aljazair. Mengabaikan kenyataan ini, beberapa komentator Barat menegaskan bahwa orang-orang di negara-negara Muslim, yang mereka anggap sangat berurat akar pada keyakinan agamanya, nakal menolak ideologi politik seperti nasionalisme dan komunisme. Mereka sungguh keliru.
Seperti dikemkakan John Esposito, nasionalisme ‘tidak terartikulasikan secara signifikan dalam istilah Islam’. Ini terutama benar dalam periode setelah Perang Dunia II, dimana sebagian besar ideologi berlawanan dan reformasi radikal dibentuk oleh perspektif demokratik Barat, sosialis, dan Marxis. Walter Laqueur yang menulis pada 1956 tentang dominasi komunis dan nasionalisme di Timur Tengah, dengan sangat meyakinkan menantang apa yang disebut sebagai tesis pertahanan Islam/bulwark of Islam, dan menyatakan bahwa apa yang terjadi adalah Islam perlahan-lahan berhenti menjadi kompetitor serius bagi komunisme dalam perjuangannya untuk jiwa-jiwa kemasakinian dan elit-elit potensial di Timur Tengah. Jika hal itu benar untuk komunisme, maka makin benar pula untuk nasionalisme. Komunisme dan nasionalisme ekstrim, kata Laqueur, adalah dua kekuatan utama diantara para akademisi muda di negara-negara Arab. Kekuatan ini kemudian memimpin perjuangan pembebasan nasional yang sukses dan mempromosikan reformasi sekuler, diantara tindakan-tindakan lain, pada masyarakat mereka.
Sebagai contoh, presiden Mesir Gamal Abdel Nasser memperkenalkan bermacam-macam reformasi ekonomi, sosial dan politik di bawah bendera sosialisme Arab. Melalui tindakan-tindakan ini, Nasser sanggup memadamkan pengaruh badan keagamaan dan mencegah mereka mencampuri urusan negara (dimana tindakan lainnya adalah memenjarakan dan mengusir Persaudaraan Muslim). Dari kebijakan Nasser ini, kita bisa melihat terjadi sebuah pemisahan yang tegas antara agama dan politik. Meski Nasser memberikan pernyataan bahwa beberapa ajaran Islam konsisten dengan pandangannya tentang sosialisme, ideologi Nasserist ini adalah sekuler sampai ke akar-akarnya. Hanya karena kejatuhan dan kekalahan nasionalisme sekuler diakhir tahun 1960an dan awal 1970anlah, lalu terbuka ruang bagi kebangkitan Islam Politik.
Untuk meringkasnya, bisa dikatakan bahwa tidak ada hubungan langsung antara Islam di abad ke-7 dengan kebangkitan kelompok Islamis di bagian akhir pada abad ke-20. Kita menggarisbawahi pemisahan de facto yang mengambil posisi di dalam Islam, antara bidang religius dan politik dan doktrin paling senyap yang mendorong sebuah penghindaran atas kekuatan politik. Sebagai tambahan, tradisi sekulerisme dan modernisasi sangat dominan, setidaknya dua abad, di berbagai wilayah yang mayoritas penduduknya Muslim; dari reformasi modernisasi yang dilembagakan oleh berbagai monarki Muslim, lalu menyusul perubahan-perubahan lebih jauh yang dilakukan oleh kepemimpinan nasionalis sekuler setelah perjuangan anti kolonial yang sukses. Islam Politik, oleh karenanya, lebih baik dipahami sebagai hasil dari perkembangan ekonomi dan politik belakangan ini. Perkembangan yang lebih jauh lagi, telah mendorong kebangkitan gerakan-gerakan keagamaan di masyarakat lainnya.



HAMMAM EL-MARISMA
(Mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Arab UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)


Senin, 01 Mei 2017

Seni dan Budaya Jadi Medium Awal
Seni dan budaya menjadi medium awal dakwah para penyebar Islam pertama di Pulau Jawa. Wali songo menjadikan seni dan budaya sebagai medium penyampai ajaran Islam, saat masyarakat Jawa pada masa itu masih dipengaruhi ajaran Hindu-Budha. Dakwah seperti ini pun berhasil.
Di sejumlah daerah pesisir utara pulau Jawa, karakter Islam yang pada masa awal kedatangannya si Nusantara membangun harmoni dengan adat dan budaya masyarakat setempat terlihat jelas hingga saat ini.
Di museum Sunan Drajat, Lamongan, Jawa Timur misalnya, dapat dijumpai berbagai ornamen peninggalan Sunan Drajat, salah satunya adalah gamelan singo mengkok, yang merupakan seperangkat gamelan sebagai syiar agama Islam di daerah Paciran. Dahulu para sahabat Sunan Drajat mengiringi tembang Pangkur (Panguti Isine Al-Qur’an) ciptaan Sunan Drajat pada abad ke-16.
Ukiran Singo Mengkok adalah ukiran berupa wujud singa yang duduk dengan sikap siap menerkam. Kesenian ini adalah sebuah akulturasi dari budaya Hindu Budha dan Islam, mengingat  masyarakat sekitar adalah pemeluk agama Hindu. Agar mudah diterima masyarakat sehingga gamelan tersebut dinamakan Singo Mengkok sebagai lambang kearifan, kelembutan, nafsu dan kesempurnaan manusia.
Selain itu, pada sap tangga menuju makam sitihinggil Sunan Drajat yang sebanyak tujuh sap, konon memiliki filosofis. Sap tangga kesatu adalah memangun resep teyasing sasomo (kita selalu membuat senang hati orang lain). Dan pada sap kedua adalah Jroning suku kudu eling lan waspodo yang artinya dalam suasana riang kita harus tetap ingat dan waspada. Makna filosofis sap tangga ketiga adalah laksitaning subroto tan nyipto marang pringgo bayangin lampah, yang berarti dalam perjalanan untuk mencapai cita-cita luhur kita tidak peduli dengan segala bentuk rintangan. Sap keempat adalah memper harsaning pancadriya, yang bermakna kita harus selalu menekan gelora nafsu-nafsu.
Heneng-hening-henung, merupakan filosofi kelima yang memiliki makna bahwa dalam keadaan diam kita akan memperoleh keheningan dan dalam keadaan hening itulah kita akan mencapai cita-cita luhur. Sap tangga keenam berbunyi mulyo guno panca waktu, yang artinya suatu kebahagiaan lahir batin hanya bisa kita capai dengan shalat lima waktu. Dan sap tangga yang terakhir berbunyi menehono teken marang wong kang wuto, menehono mangan marang wong kang luwe, menehono busono marang wong kang wudo, lan menehono ngiyup marang wong kang kudanan. Artinya, beri ilmu agar orang menjadi pandai, sejahterakan kehidupan masyarakat yang miskin, ajarilah kesusilaan orang yang tidak punya malu, dan berilah perlindungan orang yang menderita.
Harmoni
Fenomena yang lain yang kita dapati sampai saat ini salah satunya adalah Megengan. Yaitu tradisi masyarakat Jawa dalam menyambut bulan Ramadhan, megengan diambil dari bahasa Jawa yang artinya menahan. Ini merupakan suatu peringatan bahwa sebentar lagi akan memasuki bulan Ramadhan, bulan dimana umat Islam diwajibkan berpuasa, yaitu menahan untuk tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat menggugurkan ibadah puasa tersebut.
Adapun kegiatannya sangat bermacam-macam sesuai dengan adat daerah setempat, tapi umumnya masyarakat Jawa biasanya berbondong-bondong untuk berziarah kubur, membersihkannya serta menaburi bunga diatasnya dan tidak lupa mendo’akannya serta ada juga yang membacakan yasin dan tahlil, kemudian masak besar untuk dibagikan kepada sanak famili. Dan pada malam harinya mengadakan selamatan atau kenduri dengan mengundang para tetangga untuk mendo’akan keluarga yang sudah meninggal, ada juga yang selamatan atau kendurinya diadakan bersama-sama oleh seluruh warga setempat.
Selain itu, peringatan Isra’ Mi’raj juga masih mendarah daging dikalangan masyarakat sinkretis, bahkan hal ini bisa ditemui pada kampus yang bernuansa Islam, salah satunya adalah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Tidak dipungkiri hal ini sudah menjadi tradisi tersendiri bagi kalangan mahasiswa UIN, khususnya anak-anak PMII, yang mana setiap tahun selalu diperingati, begitupun pada kalangan PMII KOMFAKA, yang mana pada tanggal 27 April 2017 kemaren telah memperingati Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad SAW Dengan tema “Merawat Tradisi & Memperkokoh Silaturahmi”.
“Tema tersebut sengaja diusung untuk tetap melestarikan dan upaya untuk tetap merawat tradisi yang ada, selain itu dengan adanya acaranya Isra’ Mi’raj ini juga bisa kembali bersilaturahmi bersama karib sahabat yang mungkin telah lama tidak bertemu”. Tutur Hammam Al Marisma sebagai Ketua Pelaksana. Acara kala itu dimeriahkan dengan pembacaan maulid Berjanji yang diiringi dengan musik rebana, atau biasa disebut dengan hadroh. Juga puisi Islami yang menghiasi berjalannya acara. “harapannya acara seperti ini tetap dilestarikan setiap tahunnya” tutur ketua pelaksana.


HAMMAM EL-MARISMA

(Mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Arab UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)

Jumat, 28 April 2017

Tulisan Hilang, Peradaban Melayang

TULISAN HILANG, PERADABAN MELAYANG
Pergolakan bahkan perdebatan seringkali terjadi dalam dunia kesusasteraan, banyak orang tidak mengetahui bahwa sastra merupakan bagian dari sejarah yang terlupakan. Indonesia merupakan salah satu negara yang terbilang masih bungkam akan perkembangan sastra. Dunia sastra adalah dunia yang membutuhkan kejujuran dalam setiap rangkaian-rangkaian kata-katanya. Menyangkut kembali relasi antara sastra dengan sejarah bangsa, sejak Pra kemerdekaan banyak sastrawan pribumi yang memiliki kualitas kognitif dan emosional kritis, mengkritik bangsa ini melalui setiap bait-bait kalimat mendalamnya.
Kalimat-kalimat sadis tersebut seperti akan membunuh setiap perlakuan, kelakuan bahkan tingkah laku pada masanya. Teks dalam aneka tulisan tersebut melahirkan paradigma disetiap lapisan masyarakat. Tulisan dapat mengubah segalanya, melalui karya goresan dan pemikiran sang penyair, penulis bahkan banyak jenis dari satrawan membuktikan kepada dunia. Dengan sastra dunia menjadi hidup. Sastra berbicara dalam keadaan diam, namun bergerak tanpa perpindahan. 
Perumpamaan yang sangat ambigu bertumpuk-tumpuk bahkan tak masuk akal dan logika. Sastra tidak tampak jika seseorang tidak mendalaminya, dunia sastra adalah dunia yang penuh akan pemahaman. Apabila, kita belajar bersumber pada filsafat untuk mengetahui dan mengkaji semua ilmu pengetahuan di muka bumi ini dalam proses mencari jati diri dan menemukan siapa diri kita sebenarnya. Dan melalui filsafat kita akan menemukannya, kendati dengan sastra bukan hanya kita dapat memahami diri sendiri melainkan keadaan orang lain secara utuh kita memahaminya.
membahas sastra sepertinya tak ayal kita akan mengenal berbagai karya seperti, novel, puisi, sajak, cerpen dan lain-lain. Sastra berkembang dan selalu mengalami perubahan sesuai dengan zamannya, dimana dipengaruhi oleh pemikiran yang dominan serta dampak yang ditimbulkan kepada masyarakat pada zaman itu. 
Saya ambil contoh saja, sastrawan Indonesia angkatan 45 seperti Chairil Anwar dengan puisi ”Aku” menceritakan keadaan dimana sosok seseorang yang terpuruk pada masa itu, di negeri sendiri tetapi menjadi budak dengan jajahan negeri asing. Pada angkatan 45 para sastrawan mengkisahkan segala dan mencurahkan kritisi mereka keluh kesah dengan puisi-puisi penentang. Belum lagi, pada masa angkatan 66 dimana sekumpulan sastrawan masa ini membentuk dan menerapkan apa yang di cita-citakan oleh Soekarno mendukukung perkembangan sastra. Puisi tentang keadilan dan kebenaran  menjadi bahan utama pada setiap ide-idenya.
Tulisan-tulisan yang tertuang dalam karya sastrawan mendeskripsikan moral-moral bahkan perilaku-perilaku manusia terhadap dunia. Sastra bercerita tentang sang penulis dan mengungkapkan yang dilihat sang penulis. Jelas sekali, moral-moral yang terjadi dapat terlihat. Tanpa sedikitpun meleset puisi-puisi pemberontakan memang benar adanya sesuai dengan kehidupan. Alasan terbesarnya adalah ada makna dibalik kata. Pemaknaan juga menjadi prioritas utama sebuah karya, karena karya tersebut diterbitkan atau dibuat pasti memiliki tujuan dan maksud tertentu. Tulisan memang memberikan pengaruh yang besar terhadap peradaban suatu tempat ataupun negara. Karena dengan tulisan suatu rekaman yang dapat diwariskan kepada setiap generesai-generasi mendatang. Kita dapat melihat sebuah negara peradaban terbesar di dunia, dimana arsip-arsip ilmu pengetahuan terkumpul disana dan menjadi sumber setiap negara untuk mempelajarinya. Yunani, siapa yang tidak kenal dengan para filsuf Yunani sebut saja Aristoteles, Plato, Socrates. Mereka tumbuh di negara peradaban dimana negara tersebut telah menyusun rapih dan mendokumenkan setiap hasil karya-karya para fisafat terdahulu untuk menjadikan cika bakal ilmu pengetahuan.
Melirik dan menelisik kembali di Indonesia, bagaimana kita dapat mengetahui adanya Kerajaan Majapahit yang terkenal dengan prajurit Gajamada dimana ia memiliki cita-cita besar untuk menyatukan nusantara, bagaimana kita dapat mengenal ada sebuah kerajaan islam di sebuah tempat yang sampai sekarang masih mendapatkan julukan Serambi Mekkah dan bagaimana kita dapat mengerti bahwa Indonesia pernah menjadi pusat pembelajaran ilmu pengetahuan yang besar melalui Kerajaan Sriwijaya, yang dimana sebagai kerajaan Budha terbesar pada masa itu. Tanpa sebuah bukti, melalui karya-karya tulisan yang pernah terabadikan masa lalu. Melalui prasasti dan kitab-kitab yang tertulis ditemukan, kita dapat mengenal, mengetahui dan mengerti bahwa Indonesia memiliki sebuah peradaban sudah terbentuk sejak dahulu kala.
Karya-karya diatas terindefendesi satu sama lain dalam sebuah tulisan dan  tulisan menceritakan bagaimana proses dan perkembangannya.  Melalui sebuah tulisan masyarakat tidak buta terhadap sejarah bangsanya. Kita mengenal, tulisan saat mengenyam pendidikan dasar sekali, bahkan kita diajarkan menulis terlebih dahulu daripada membaca. Dengan tulisan segala sesuatu dapat dipahami, kita dapat mengeja, membaca, dan berbicara dengan baik. Menulis menguji setiap syaraf otak kita bergerak. Karena pada saat kita menulis, semua syaraf kita bekerja dan tidak mati, dimulai saat kita berfikir tentang ide apa yang akan kita tulis, menggerakan jari-jari kita, mengolah ingatan kita dan dituangkan kembali kedalam tulisan.
Dan pertanyaan penuh tanda tanya, bagaimana perkembangan sastra sekarang? Terutama di negeri kita, apakah ada sastrawan terkenal dan sekritis seperti Chairil Anwar dan W.S rendra? Apakah ada sastra perempuan yang melahirkan kata-kata kejujuran seperti Toeti Herarty, melalui puisi-puisi nya ia menyampaikan sebuah kejujuran sebagai seorang perempuan. Apakah ada penulis perempuan seperti Kartini dengan buku “Habislah Gelap Terbitlah Terang”?. Jawabannya adalah pikiran yang melintas di pemikiran kita.  Kita amati dunia ini, sastra mulai meredup. Hanya segelintir orang yang mengabadikan keluh kesahnya melalui tulisan. Hanya sedikt orang yang dapat membaca keluh kesahnya sendiri.
Budaya menulis telah sepi dalam kesemrawutan kampus, dan budaya membaca teleh hening dalam kebisingan suara kendaraan yang memenuhi parkiran, sampai tak ada ada lagi lahan untuk berjalan kaki karena disesaki kendaraan. Karena menulis tak lagi menjadi budaya, dan sentuhan terhadap layar yang membuat kita menunduk setiap harinya menjadi budaya baru. Belum posting foto terbaru dan belum update kata-kata bullshitdi media sosial, pasti belum kekinian. Dan karena duduk di perpustakaan, berdiam diri membaca dan menulis adalah sosok “sok pintar”.
Terdiam lirih, menanggapi setiap perubahan dan mulai menghilangkan peradaban di dunia yang serba canggih ini. Mungkin saja beberapa puluh tahun yang akan datang, kita akan kembali lagi pada masa dimana belum mengenal tulisan dan memulai kembali peradaban. Karena tiadanya sastra sebagai bukti sejarah untuk peradaban. Tiada Sastra akan lahir Tiada Tulisan dan beranak Tiada Peradaban, karena tiada peradaban menghilanglah dunia  serta kembali pada masa ketidaktahuan!


Senin, 26 Desember 2016

kritik sastra Arab klasik

KRITIK SASTRA ARAB KLASIK

SEJARAH
Dalam sejarah kritik sastra Arab, kritik sastra telah muncul sejak masa Jahiliyah (pra-Islam), khususnya dalam moment Pasar Raya Ukaz yang tidak saja berfungsi sebagai pasar material, tetapi juga sastra dan budaya yang melahirkan karya sastra al-mu’allaqat (karya sastra monumental yang digantung di dinding Ka’bah).
Pada masa awal Islam, Nabi sendiri bahkan pernah melakukan kritik terhadap syair-syair haja’ (ejekan) yang diungkapkan Hasan bin Tsabit, Ka’ab bin Malik, dan Abdullah bin Rawahah, ketika mereka melawan syair haja’ kaum Quraisy. Sabdanya, syair dua penyair yang disebut terakhir cukup baik dan yang paling baik adalah syair Hassan, karena penguasaannya terhadap peristiwa-peristiwa sejarah Arab, pada masa selanjutnya, Umar, pernah memuji Zuhair Abi Sulma sebagai penyair terbaik karena syair-syairnya yang tidak ada pengulangan kata, tidak menggunakan kata asing, dan syair pujiannya yang berdasarkan kenyataan orang yang di puji.
Pada Abad ke-2 H (sekitar abad ke-8 M), periode ini merupakan periode tadwin (koodifikasi) terhadap syair-syair sebelumnya yang berserakan dalam hafalan orang-orang Arab. Buku kodikasi syair al-Usmu’i dinilai para ahli yang paling memiliki akurasi sastra Arab Jahiliyah karena ketelitiannya. Periode ini agaknya berbeda dengan periode sebelumnya, karena periode ini merupakan periode dimulainya tradisi tulis dalam kritik sastra Arab. Pada abad berikutnya (ke-3 H), kritik sastra mengalami perkembangan ketika muncul kritikus seperti Ibnu Qutaibah, kritik sastra pada masa ini mengandalkan ukuran kritik ketepatan kaidah, orisinalitas (plagiat atau bukan), gaya bahasa yang solid (baik), ukuran maknanya yang baik, dan menggunakan metode perbandingan.  Bahkan, kata naqd atau kritik sendiri pertama kali digunakan untuk sastra pada abad ini. Sebab itu, abad ini membawa abad berikutnya (abad ke-4 H) mengalami masa matang. Pada periode ini, definisi dan unsur-unsur syair dan orasi menjadi lebih jelas, munculnya kajian terhadap struktur puisi dan estetika sastra, menguatnya ukuran orsinalitas dalam kritik, dan lahirnya metode badi’. Bahkan metode perbandingan yang telah muncul sejak abad ke-2 H menjadi sangat detail seperti perbandingan antara Abu Tamam dan al-Buhturi. Diantara kritikus masa ini adalah Hasan bin Basyar al-Amidi dan Qudamah bin Ja’far.
Periode berikutnya (abad ke-5) adalah periode emas dimana kritik sastra Arab banyak memusatkan perhatiannya pada kemukjizatan puitika Al-Qur’an dan aspek estetika bayan. Diantara kritikus yang lahir pada masa ini adalah Ibnu Rasiq al-Qairawani dan ‘Abdullah al-Qahir al-Jurjani yang menguasai teori sastra Plato dan Aristoteles.
Sejak abad ke-6 H hingga masa modern (masa persentuhandunia Arab dengan kolonialisme Barat yang terjadi pada abad ke-13 H atau abad ke-19 M), kritik sastra mengalami kemandekan. Meskipun demikian, pada periode yang panjang ini sejarah kritik sastra Arab mengenal beberapa tokoh kritikus sastra.
Yang harus menjadi catatan untuk sejarah kritik sastra Arab klasik dan pertengahan ini adalah bahwa sepanjang sejarah kritik sastra pada dua kategorisasi masa besar ini, perhatian terhadap syair mendapatkan porsi jauh lebih besar ketimbang porsi prosa, karena kultur kritik sastra Arab pra-modern adalah kultur syair bukan prosa.

METODE
Pada masa klasik terdapat banyak metode kritik sastra Arab, diantaranya:
Pertama, metode kritik linguistik, yang di bawah oleh Abdul al-Qahir al-Jurjani yang tidak saja mementingkan interaksi dengan kata, tetapi juga struktur kalimat. Menurut para ahli unsur-unsur linguistik yang ada dalam sastra merupakan media pertama yang membawa seorang kritikus mampu menganalisis sastra dengan baik. Namun, bukan berarti metode ini tidak mementingkan makna atau hubungan instrinsik makna, karena bagi mereka bahasa bagaikan tradisi lainnya yang berkembang dan didirikan diatas kesepakatan yang bersifat sinkronis, yang bila terjadi perubahan dalam tradisi, perubahan makna pun terjadi.
Kedua, metode klasik yang mementingkan pengkajian terhadap bagian-bagian kata dan makna, Wazan atau Bahr (prosodi gaya lama) dalam syair, dan penguasaan khazanah sastra Arab.
Ketiga, metode estetik, metode ini lebih mementingkan bentuk sastra, karena kekuatan dan tujuan penciptaan syair adalah keindahan bentuknya. Tidak ada hubungan bagi kalangan ini, antara syair dengan kebenaran dan kebaikan spiritual. Sisi yang dipertimbangkan dalam penciptaan syair adalah rasa, karena yang digugah dalam karya sastra yang menggunakan bahasa sebagai media adalah intuisi pembaca.
Keempat, metode psikoanalisis, metode ini lebih menekankan pada unsur psokologis yang terdapat dalam suatu karya sastra yang tersembunyi dari sastrawan dalam menjelaskan karya sastranya. Metode ini juga bertolak dari asumsi bahwa karya sastra selalu membahas tentang peristiwa kehidupan manusia.melainkan manusia senantiasa memperhatikan perilaku yang beragam, sehingga bila kita ingin memahami manusia lebih dalam maka kita membutuhkan pemahaman tentang psikologi.
Kelima, metode aliran (ideologis), metode ini lebih mementingkan unsur-unsur ideologi dari sastrawan yang terdapat dalam karya sastranya. Sudut pandang metode ideologis ini berdasarkan dari system kepercayaan, nilai-nilai, dan kategori-kategori yang menjadi acuan bagi seseorang atau golongan dalam memahami dunia. Dengan kata lain, bila kita berbicara mengenai sudut pandang berlatar ideologis dalam teks naratif, kita mengartikannya sebagai seperangkat nilai atau kepercayaan yang dikomunikasikan lewat bahasa teks. Isi atau muatan ideologi ini merupakan suatu persoalan yang harus diidentifikasi melalui bahasa teks.

KRITIKUS SASTRA
Beberapa tokoh kritikus sastra pada masa klasik diantaranya:
a.       Al-Nabigah al-Zibyani, mengkritik Hassan bin Tsabit dalam sebuah syairnya.
b.      Ibnu Qutaibah, menulis al-Syi’r wa al-syu’ara.
c.       Al-Jahizh, menulis al-Bayan wa al-Tabyin.
d.      Hasan bin Basyar al-Amidi, menulis al-Muwazanah baina Abi Tamam wa al-Buhturi.
e.       Qudamah bin Ja’far, menulis Naqd al-syu’ara.
f.        Ibnu Rasyiq al-Qairawani, menulis al-Umdah fi Mahasin al-Syi’ri wa adabihi wa Naqdihi.
g.       ‘Abdul al-Qahir al-Jurjani, menulis dalail al-i’jaz wa Asrar al-Balaghah.
h.      Ibnu al-Asir, menulis al-Misl al-Sa’ir.

i.         Ibnu Sina al-Malik, menulis kaidah jenis sastra muwasysyah dalam bukunya Dar al-Tiraz.